Kamis, 26 Januari 2012

Makna Sikap Diam di Mata Hukum

 Makna Sikap Diam di Mata Hukum

Diam adalah emas! Begitu kata pribahasa yang sering dikutip. Tetapi sikap diam tak selalu mendatangkan ‘emas’ bagi pejabat publik. Sebaliknya, bisa menjerumuskan seorang pejabat publik ke jurang hukum dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang. Muncul sebuah pertanyaan dasar: apa sebenarnya makna sikap diam di mata hukum.

Pertanyaan itulah yang muncul dalam sidang perkara korupsi terdakwa Syarifuddin di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/1). Di ruang sidang, muncul diskusi menarik tentang kekuasaan dan kewenangan, hubungannya dengan sikap diam seorang pejabat publik. Dalam konteks kasus ini, sikap diam Syarifuddin terhadap penjualan boedel pailit dengan status non-boedel yang dilakukan oleh kurator.

Adalah Prof. Philipus M. Hadjon yang memantik diskusi itu. Guru Besar Hukum Administrasi Universitas Airlangga Surabaya ini menyebutkan tidak ada kewajiban tanpa kewenangan. Seorang pejabat tata usaha negara (TUN) yang berwenang menerima suatu permohonan, menjadi kewajibannya untuk menerbitkan keputusan atas permohonan itu. Kalau pejabat TUN tadi tidak melaksanakan kewajibannya, muncul persoalan kewenangan. Katakanlah si pejabat diam alias tak bersikap atas permohonan, maka timbul persoalan.

Dalam hukum administrasi, khususnya peradilan tata usaha negara, sikap diam pejabat, bermakna menolak (permohonan). Kalau sudah lewat waktu si pejabat tidak mengeluarkan keputusan dan hanya bersikap diam, berarti si pejabat menolak. “Di bidang TUN, diam artinya menolak,” jelas Prof. Hadjon.

Makna ‘menolak’ itulah yang kemudian dikenal sebagai Keputusan TUN fiktif-negatif. Sikap diam seorang pejabat TUN hingga lewat waktu dianggap sebagai keputusan resmi menolak permohonan yang diajukan. Dan sikap demikian, seperti disinggung dalam pasal 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Prof. Hadjon berkeinginan agar prinsip hukum administrasi itu bisa diterapkan di bidang lain. Dengan kata lain, sikap diam dimaknai menolak perlu dijadikan asas yang berlaku nasional.

Benarkah sikap diam selalu dimaknai menolak? Tunggu dulu. Ketua majelis hakim yang menangani perkara Syarifuddin, Gusrizal, punya contoh sebaliknya. Dalam proses legislasi, sikap diam bisa dianggap menyetujui. Tengok saja pasal 73 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut Wet ini, dalam hal presiden tidak menandatangani RUU dalam waktu 30 hari sejak persetujuan bersama, maka RUU itu sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. Di sini, sikap diam presiden bukan saja dimaknai setuju, tetapi juga menimbulkan kewajiban kepada pihak ketiga.

Sikap diam juga tak dapat dibenarkan berkaitan dengan pengaduan atas pelayanan publik atau permohonan informasi. Rezim Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, atau Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, mengharuskan pejabat publik bersikap atas pengaduan atau permohonan. Sikap diam pejabat malah bisa menimbulkan konsekuensi yuridis, seperti sanksi administrasi atau sanksi pidana denda.

Prof. Hadjon tak menampik pendapat Gusrizal. Guru Besar Unair Surabaya itu malah memberi contoh lain, sikap diam dimaknai setuju. Dalam pemberian izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), pejabat dianggap setuju jika dia mendiamkan permohonan izin begitu saja.  

Cuma, Prof. Hadjon mengingatkan, memaknai sikap diam sebagai tanda setuju bisa membuka peluang kolusi. “Kalau diam dianggap setuju, itu berpeluang terjadinya kolusi”. Misalkan seorang pejabat menerima permohonan dari orang yang dia kenal. Si pejabat tahu ada cacat dalam permohonan. Ia tidak sampai hati menolak meski ada cacat atau kekurangan persyaratan. Sebaliknya, ia tidak berani menyetujui permohonan lantaran khawatir bisa menjadi persoalan hukum kelak. Karena itu si pejabat hanya diam. Jika sikap diam tadi dimaknai setuju, berarti terbuka peluang untuk kolusi.

Penegasan Prof. Hadjon memang hanya dalam konteks hukum administrasi. Ia mengakui asas diam berarti menolak yang dikenal dalam hukum administrasi belum tentu bisa diterapkan dalam bidang lain. Menurut Gusrizal, pemaknaan sikap diam penting demi kepastian hukum.

Katakanlah dalam tindak pidana korupsi. Seorang pejabat yang menerima gratifikasi tak bisa mendiamkan uang atau barang yang dia terima. Pejabat negara wajib melaporkan gratifikasi itu paling lambat 30 hari sejak uang/barang diterima. Jika sudah lewat waktu 30 hari si pejabat tetap diam, tak mungkin bisa dimaknai si pejabat menolak gratifikasi. Yang terjadi justru sebaliknya, ia dianggap setuju dan menerima pemberian tersebut.

Prof. Hadjon mengaku punya obsesi agar asas ‘diam berarti menolak’ diterapkan bukan hanya di lingkup administrasi negara. Namun dalam praktik, obsesi itu tampaknya masih sulit karena rezim hukum lain yang mengatur. “Itulah repotnya, kita tidak punya pola yang sama secara nasional. Maka harus dilihat kasuistis,” pungkas pakar hukum administrasi negara kelahiran 1945 itu. 

 http://hukumonline.com/berita/baca/lt4f1ff9d322ae4/makna-sikap-diam-di-mata-hukum

Permen Digitalisasi Penyiaran untuk Semarakkan Industri TV

  Permen Digitalisasi Penyiaran untuk Semarakkan Industri TV

Sejumlah anggota Komisi I DPR mempertanyakan langkah Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Tifatul Sembiring menerbitkan Peraturan Menteri No 22 Tahun 2011. Permen yang mengatur migrasi penyiaran dari sistem analog ke sistem digital ini dinilai melampaui UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Desakan agar Permenkominfo ini dicabut pun sempat muncul dari Senayan.
 
“Ini seharusnya dimasukkan ke dalam revisi UU Penyiaran. Frekuensi ini adalah aset negara, tak bisa begitu saja dibagi-bagi. Ini tak bisa hanya diatur dengan Permen,” ujar Anggota Komisi I Evita Nursanty dalam rapat kerja dengan Menkominfo, Rabu (25/1).   
 
Evita khawatir bila aturan ini ada muatan politik untuk Pemilu 2014. Apalagi, televisi dianggap alat yang ampuh untuk berkampanye. “Golkar sudah punya (stasiun TV), Nasdem juga sudah punya. Kalau izin frekuensi hanya diberikan TV-TV swasta yang sudah ada itu, bagaimana dengan kami yang belum memiliki stasiun televisi,” ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini.
 
Tifatul menjelaskan bahwa adanya aturan yang memigrasikan penyiaran televisi dengan sistem analog ke sistem digital ini justru untuk menyemarakkan industri pertelevisian yang ada saat ini. “Justru dengan sistem digital ini terbuka peluang Ibu Evi untuk membuka stasiun televisi sendiri. Terbuka juga peluang diversity of ownership (keberagaman kepemilikan),” jelasnya.
 
Sebagai contoh, lanjutnya, saat ini sudah tak terbuka lagi peluang orang yang ingin memiliki stasiun televisi secara nasional karena frekuensi sudah penuh bila masih menggunakan sistem analog. “Sistem digital ini membuka peluang orang yang ingin terjun ke industri penyiaran yang selama ini tak bisa dilakukan karena frekuensi sudah penuh,” ujarnya. 
 
Tifatul menuturkan bahwa di Jakarta bila mengacu sistem analog, maka hanya ada 14 frekuensi untuk televisi. Namun, dengan sistem digital kelak, maka frekuensi akan membengkak menjadi 72 frekuensi. “Ini juga terbuka untuk radio. Perbandingannya satu frekuensi dengan sistem analog maka bisa menjadi 48 frekuensi baru bila menggunakan sistem digital,” jelasnya.
 
“Ini tujuannya justru untuk membuka, bukan justru membatasi. Polisi saja susah kami kasih frekuensi karena memang sudah penuh,” ungkapnya.
 
Selama ini memang sudah ada beberapa grup yang menguasai industri pertelevisian Indonesia. Yakni, grup bakrie dengan stasiun televisi TV One, ANTV, dan Jak Tv. Ada lagi grup lain yang memiliki SCTV, O Channel, dan Indosiar. Sedangkan, MNC memiliki Global TV, RCTI, dan MNC TV. Terakhir yakni grup Trans yang menaungi Trans TV dan Trans 7.
 
Tifatul juga menolak bila Permen ini dikatakan mengobral kepemilikan frekuensi. Ia menjelaskan Permen ini baru sebatas aturan untuk mengkavling frekuensi-frekuensi itu berdasarkan sistem digital. Jadi, belum dimulai ‘penjualan’ kepada pihak swasta. “Kami tetap berpedoman kepada UU Penyiaran. Ini implementasi dari undang-undang itu,” ujarnya.
 
“Kami menilai persoalan ini memang perlu diatur ke dalam Permen karena bersifat sangat teknis,” ujarnya.
 
Anggota Komisi I dari Partai Golkar Jeffrie Geovanie meminta kepada rekan-rekannya agar tak lebih dulu berburuk sangka mengenai proyek ini. Ia menuturkan setelah menyimak penjelasan menteri, setuju dengan langkah ini. Dengan dibukanya kran frekuensi yang lebih banyak dari sebelumnya akan membuat semarak industri pertelevisian.
 
“Logika sederhananya kan semakin banyak frekuensi kan lebih baik. Kalau ‘barang’-nya sedikit seperti sekarang kan agak susah untuk orang lain berkiprah di industri ini,” ujarnya.
 
Jeffrie juga menuturkan bila Permen ini memprioritaskan kepada stasiun televisi yang ada untuk mendapat izin itu pun hal yang wajar. “Mereka punya hak juga. Mereka kan rakyat kita juga. Lagipula, mereka juga tak akan bisa menguasai semua frekuensi yang ada dengan sistem digital ini,” pungkasnya.

Sumber : http://hukumonline.com

Seleksi PNS Akan Gandeng PTN

 

Seleksi PNS Akan Gandeng PTN

Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) akan menggandeng perguruan tinggi negeri (PTN) dalam perekrutan calon pegawai negeri sipil (PNS).

Menpan dan RB Azwar Abubakar mengatakan,rekrutmen calonPNSmerupakansalahsatu pintu masuk penting dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih. Pihaknya akan memperketat proses perekrutan mulai saat pendaftaran hingga penentuan kelulusan.Pasalnya, persoalan transparansi selama ini menjadi masalah yang banyak dikeluhkan masyarakat.

“Ada sinyalemen bahwa rekrutmen calon PNS di daerah dijadikan ATM oleh pejabat, dan sering dijadikan alat dalam kampanye pilkada,” katanya di gedung Kemenpan dan RB kemarin. Lebih lanjut Azwar mengungkapkan, ke depannya pemerintah akan melibatkan PTN dalam proses perekrutannya. Menurut dia,PTN yang dipilih juga harus atas dasar rekomendasi dari menteri pendidikan dan kebudayaan.

Nantinya, PTN yang akan ikut menyeleksi tergabung dalam suatu konsorsium. Berdasarkan rekomendasi mendikbud, hanya ada beberapa PTN yang dinilai mampu untuk melaksanakan seleksi aparatur negara di daerah secara objektif, transparan,dan akuntabel. Mantan Plt Gubernur Aceh ini menjelaskan,melalui kerja sama dengan PTN maka proses perekrutan PNS diharapkan akan semakin kredibel.

Dia juga tidak akan segan-segan untuk membatalkan pengangkatan calon PNS baik itu di kementerian, lembaga, atau pemerintah daerah serta tidak akan memberikan nomor induk pegawai (NIP) jika terjadi kecurangan. “Mereka harus mengerti bahwa rekrutmen PNS itu pintu masuk dalam penataan manajemen kepegawaian nasional,”terang Azwar. Menpan dan RB ini juga meminta kepada masyarakat agar berpartisipasi dalam perekrutan calon PNS yang bebas dari KKN.

Dalam hal ini, anggota masyarakat dapat menyampaikan pengaduan kecurangan atau penyalahgunaan wewenang dan KKN kepada Indonesia Corruption Watch (ICW). “Saya sudah ketemu dan berbicara dengan pihak ICW, dan mereka menyatakan siap menerima pengaduan berbagai kecurangan dalam seleksi calon PNS,” ujarnya. Dalam kesempatan ini, pihaknya juga mendesak pemerintah daerah yang meminta formasi calon PNS untuk menyertakan analisa jabatan dan kebutuhan pegawai secepatnya.

Melihat kenyataan itu, pihaknya sudah melakukan pendidikan dan latihan untuk mencetak tambahan 4.125 analis jabatan, sehingga jumlah keseluruhan menjadi 4.200 orang. Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Idrus Paturusi mengakui keterlibatan PTN dalam proses reformasi birokrasi ini. Dalam proses rekrutmen PNS ini, ungkapnya,PTN akan membuat soal-soal ujian.

Selanjutnya, PTN juga akan memeriksa hasil dari ujian tersebut dan menyeleksi calon yang ada dengan sistem peringkat.Tahapan terakhir yaitu melaporkan hasil ujianseleksiinike panitiaperekrutan yang ada di pemerintah provinsi masing-masing. Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar ini menegaskan,

meskipun PTN yang ditunjuk sebagai pelaksana ujian berdasarkan rekomendasi pemerintah provinsi setempat, kemungkinan adanya praktik kecurangan selama proses ujian seleksi ini sangat kecil.Pasalnya,PTN merupakan lembaga independen yang tidak mengadakan komunikasi dengan para kandidat untuk birokrasi tertentu. **neneng zubaidah
Sumber : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/463821/44/

Senin, 23 Januari 2012

Larangan Pegawai Ngeeri Sipil Menjadi Anggota Partai


Pegawai Negeri Sipil berkedudukan sebagai unsur aparatur negara, bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan. Dalam kedudukan dan tugas tersebut, Pegawai Negeri Sipil harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Upaya menjaga netralitas dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan agar Pegawai Negeri Sipil dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaganya pada tugas yang dibebankan kepadanya.

Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 dengan tegas melarang Pegawai Negeri Sipil menjadi anggota partai politik dan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 ditetapkan larangan Pegawai Negeri Sipil menjadi Anggota Pengurus Partai Politik. Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah ini Pegawai Negeri Sipil yang menjadi Anggota dan/atau Pengurus Partai Politik diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pemberhentian tersebut dapat dilakukan dengan hormat atau tidak dengan hormat Pengunduran diri sebagai Pegawai Negeri Sipil Pegawai Negeri Sipil yang akan menjadi anggota/dan atau pengurus partai politik harus mengajukan pengunduran diri sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pengunduran diri tersebut disampaikan secara tertulis kepada Pejabat Pembina Kepegawaian. Tembusan pengunduran diri disampaikan kepada: atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan serendah-rendahnya eselon IV, pejabat yang bertangggung jawab di bidang kepegawaian, pejabat yang bertanggung jawab di bidang keuangan.

Kewajiban atasan dan pejabat Atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dalam tempo selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah diterimanya surat pengunduran diri sebagai Pegawai Negeri Sipil wajib menyampaikan pertimbangan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian. Pejabat Pembina Kepegawaian wajib mengambil keputusan dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya pertimbangan dari atasan langsung Pegawai Negeri Sipil tersebut. Apabila dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak menerima surat pengunduran diri tersebut atasan langsung tidak menyampaikan pertimbangan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian, maka selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya surat pengunduruan diri keputusan pemberhentian dapat ditetapkan tanpa pertimbangan atasan langsung Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

Apabila dalam waktu 20 (dua puluh) hari sejak diterimanya surat pengunduran diri Pejabat Pembina Kepegawaian tidak mengambil keputusan, maka usul pengunduran diri Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan tersebut dianggap dikabulkan. Pejabat Pembina Kepegawaian sudah harus menetapkan keputusan pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari sejak pengunduran diri dianggap dikabulkan. Pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil Tata cara pemberhentian:

a.    Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan pengunduran diri karena akan menjadi anggota/pengurus politik diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil terhitung mulai akhir bulan ia mengajukan pengunduran diri, kecuali terdapat alasan-alasan yang sah yang menyebabkan pengunduran diri itu ditangguhkan.
b.    Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota/ pengurus partai politik tanpa mengundurkan diri sebagai Pegawai Negeri Sipil, atau sebelum usul pengunduran dirinya dikabulkan, diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pemberhentian karena alasan ini ditetapkan mulai Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
c.    Tindakan Pegawai Negeri Sipil yang tidak mengajukan pengunduran diri atau sebelum pengunduran dirinya dikabulkan, dikategorikan sebagai pelanggaran disiplin dan pemberhentiannya dilaksanakan sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Penangguhan Pemberhentian Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan pengunduran diri ditangguhkan, apabila:

a.    yang bersangkutan masih dalam pemeriksaan pejabat yang berwenang karena diduga melakukan pelanggaran disiplin yang dapat dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil,
b.    yang bersangkutan sedang mengajukan upaya banding administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian (Bapek) karena dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau pemberhentian tidakdengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil, atau
c.    yang bersangkutan mempunyai tanggungjawab kedinasan yang dalam waktu singkat tidak dapat dialihkan kepada Pegawai Negeri Sipil lainnya.
Penangguhan pemberhentian yang disebabkan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan masih dalam pemeriksaan pejabat yang berwenang, atau karena yang bersangkutan sedang mengajukan upaya banding kepada BAPEK seperti dimaksud di atas dilakukan sampai dengan adanya keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Penangguhan pemberhentian yang bersangkutan masih mempunyai tanggung jawab kedinasan yang dalam waktu singkat tidak dapat dialihkan kepada Pegawai Negeri Sipil lainnya dilakukan untuk paling lama 6 (enam) bulan. Dalam hal pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang mengundurkan diri ditangguhkan, maka Pejabat Pembina Kepegawaian harus memberikan alasan secara tertulis mengenai penangguhan tersebut. Pejabat Pembina Kepegawaian dapat mendelegasikan wewenangnya atau memberi kuasa kepada pejabat lain serendah-rendahnya pejabat struktural eselon II untuk menangguhkan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Hak-hak Kepegawaian Pegawai Negeri Sipil diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Negeri Sipil diberikan hak-haknya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Bahan bacaan:

1.    Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil,
2.    Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil,
3.    Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil MenjadiAnggota Partai Politik.
http://www.bkn.go.id/in/peraturan/pedoman/larangan-menjadi-anggota-partai.html

Pemahaman Suap dalam Hukum Pidana Indonesia

Kosakata suap dalam bahasa Indonesia salah satunya adalah upeti, upeti berasal dari katautpatti dalam bahasa Sansekerta yang kurang lebih berarti bukti kesetiaan. Menurut sejarah, upeti adalah suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk, dalam budaya birokrasi di Indonesia ketika kebanyakan pemerintahan masih menggunakan sistem kerajaan yang kemudian dimanfaatkan oleh penjajah Belanda, upeti merupakan salah satu bentuk tanda kesetiaan yang dapat dipahami sebagai simbiosis mutualisme. Sistem kekuasaan yang mengambil pola hierarkhis ini ternyata mengalami adaptasi di dalam sistem birokrasi modern di Indonesia

Dalam bahasa Inggris Suap adalah Bribery , yang mendapat sorotan dalam kasus Koruspi , dalam pengertiannya penyuapan adalah pembayaran (baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya) yang diberikan atas diterima ada hubungannnya yang korup, dalam suatu jumlah  tertentu , suatu presentase nilai kontrak, atau bentuk2 lain dalam pemberian uang yang biasannya dibayarkan kepada pejabat negara yang mendapat membuat kontrak atas nama negara atau mendisinrusikan keuntungan kepada negara, individu, pengusaha dan lain2
Suap sendiri dapat dibedakan dalam pembayaran kembali, uang pelican dan hadiah yang dirterima dari public, bentuk-bentuk   pembayaran tersebut ditujukan untuk mempercepat  dan mempermudah berbagai urusan  yang berkaitan dengan birokrasi negara.
Dengan kata lain bahwa suap merupakan  suatu upah yang diberikan atau suatu janji yang ditawarkan dengan tujuan agar si penerima (orang yang memiliki jabatan posisi yang penting) berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya  atau aturan dan mengarahkan perbuatannya supaya sesuai dengan kehendak dengan si pemberi suap.
Dalam disertasi klasiknya, Heather Sutherland menggambarkan betapa sistem upeti yang telah berlangsung selama berabad-abad itu tetap menjadi pola transfer kekuasaan antara rakyat dan penguasa ketika para birokrat di Indonesia sudah harus bekerja dengan sistem administrasi modern. Polapatron-client di mana upeti merupakan alat tukar kekuasaan dianggap m sebagai standar yang wajar diantara para birokrat modern ataupamong-  praja di Indonesia
Definisi mengenai suap (bribe) yang telah dijelaskan diatas terdapat beberapa kesamaan, dari kesamaan tersebut dapat disimpulkan bahwa suap adalah suatu upah yang diberikan atau suatu janji yang ditawarkan dengan tujuan agar si penerima (orang yang memiliki jabatan atau posisi yang penting) berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya atau aturan dan mengarahkan perbuatannya supaya sesuai dengan kehendak si pemberi suap tersebut
Pasal-pasal KUHP yang dioper ke UUTPK adalah Pasal 209 KUHP yang mengatur penyuapan aktif (actieve omkooping atau active bribery) terhadap pegawai negeri dan Pasal 419 KUHP yang mengatur penyuapan pasif (passieve omkooping atau passive bribery) yang mengancam pidana terhadap pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji. Kemudian Pasal 210 KUHP yang mengatur penyuapan terhadap hakim dan penasihat hukum di pengadilan serta Pasal 420 KUHP yang mengatur tentang hakim dan penasihat hukum yang menerima suap. Perluasan tindak pidana suap dalam bentuk gratifikasi yang diatur dalam Pasal 418 KUHP kemudian juga dioper menjadi tindak pidana korupsi dengan merumuskan gratifikasi sebagai pemberian hadiah yang luas dan meliputi pemberian uang, barang, rabat/diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma, dan fasilitas lainnya.
Tindak pidana suap merupakan mala per se karena penyuapan selalu mengisyaratkan adanya maksud untuk memengaruhi (influencing) agar yang disuap (misalnya menyangkut diri seorang pejabat) berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau juga karena yang disuap telah melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Para pelaku, baik ‘aktor intelektual’ maupun ‘aktor pelakunya’, telah melakukan sesuatu yang bertentangan baik dengan norma hukum maupun norma-¬norma sosial yang lain (agama, kesusilaan, dan kesopanan).
Dunia internasional mengkriminalisasikan suap-menyuap sebagai kejahatan korupsi. Menurut Muladi (2005), banyak sekali instrumen regional (misalnya EU, Inter-American, African Union, Southern African Development Community) ataupun organisasinya (misalnya OECD, GRECO) yang merumuskan untuk mencegah dan memberantas korupsi termasuk suap-menyuap. Dalam pertumbuhannya, instrumen-instrumen itu mengerucut dalam bentuk UN Convention Against Corruption, Vienna, 2003.
Dalam Konvensi PBB, ruang lingkup bribery diperluas dan mencakup penyuapan terhadap pejabat publik, termasuk pejabat publik asing dan pejabat publik dari organisasi internasional, baik aktif maupun pasif.
Pasal 5 Ayat 1 Huruf a
Unsurnnya
•    setiap orang
•    Memberi / menjanjikan sesuatu
•    Pegawai Negeri /Penyelenggara Negara
•    Berbuat / tidak Berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibanya
a/ setiap orang disitu adalah perorangan dan termasuk juga korporasi.
b.oleh karena pasal 5 ayat 1 berasal dari  pasal 201 ayat 1 KUHP adalah pasangan dari pasal 12 huruf a yang berasal dari pasal 419 angka 1  KUHP  yang dimaskud dengan hadiah menurut Hoge Raad tanggal 25 April 1916 adalah segala sesuatu yang mempu nyai arti yang termasuk sesatu dalam pasal 5 ayat 1 huruf a adalah baik berupa benda berwujud , misalnnya mobil, pesawat, dan tiket pesawat dan benda tak berwujud  fasilitas hak kekayaan intelektual dan fasilitas menginap di sebuah hotel, usur memberikan sesuatu dan menjanjikan sesuatu  dalam pasal 5 ayat (1) huruf a  baik dilakkan bagi pelak tindak pidana korups maupun pihak ketiga demi kepentingan pelaku tindak pidana korupsi
dalam putusan MA RI dalam

member atau  menjanjikan seusatu tidak harus berbuat sesuatu / tidak berbuat sesautu , pemberian sesautu atau jasa bernilai dan berharga dilihat dilihat dari ekonominnya berguna, dan bermanfaat bagi penerimannya.
Pemberi suap  seseorang yang berbuat atau tidak berbuat sesautu dengan jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya
Dalam UU No. 31 Tahun 1999 tidak ada diatur secara jelas, sudah ada tapi masih terselip dalam pasal-pasal yang masih dimasukkan dalam tindak pidana korupsi suap, yaitu: Pasal 5 ayat (2)
Pegawai negeri menerima suap menurut Pasal 5 ayat (2) ialah bila pegawai negeri menerima sesuatu pemberian atau sesuatu janji dari orang yang menyuap menurut ayat 1 huruf a atau b. Menurut suap pada pegawai negeri huruf a pemberian itu mengandung maksud supaya pegawai negeri yang menerima pemberian berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. Dengan demikian, pemberian pada pegawai negeri tersebut dipastikan ada kaitannya atau hubungannya dengan jabatan yang dimilikinya sebagai pegawai negeri, dan dipastikan pula penerimaan itu bertentangan dengan kewajiban jabatannya. Maka tidak ada keraguan lagi, bahwa perbuatan yang seperti itu sudah memenuhi unsur dari penerimaan gratifikasi Pasal 12B ayat 1. Karena itu, dapat didakwakan pula Pasal 12 B ayat (1) kepada
pegawai negeri yang menerima pemberian seperti yang dimaksud Pasal 5 ayat (1) huruf a.56
Pasal 6 ayat (2)
Dalam pasal 6 ayat (2) bentuk korupsi menerima suap, yang satu dilakukan oleh hakim dan yang lain dilakukan oleh advokat. Karena advokat tidak termasuk pada pengertian pegawai negeri atau penyelenggara negara, maka jelas tidak mungkin dapat didakwakan dan dipidana menerima gratifikasi dalam hal menerima suap dari penyuap Pasal 6 ayat (1). Berbeda dengan hakim, karena hakim menurut hukum pidana korupsi, adalah seorang pegawai negeri yang sekaligus sebagai penyelenggara negara (Pasal 1 angka (1) jo Pasal 2 UU No. 28 Tahun 1999). Maka hakim dapat melakukan korupsi menerima gratifikasi Pasal 12B dalam hal menerima sesuatu dari penyuap Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Pasal 11Pegawai negeri yang menerima suap menurut Pasal 11 ini dipersalahkan atau dipidana apabila penerimaan itu diketahui atau diduganya karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya
Oleh sebab itu, tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa pegawai negeri yang menerima sesuatu menurut Pasal 11 adalah sekaligus telah melanggar Pasal 12B ayat (1). “Unsur Hadiah diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya” dalam Pasal 11, telah masuk pula dalam unsur Pasal 12B ayat (1) berupa “berhubungan dengan jabatabnnya dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasa jabatannya”, tidak akan menghalangi pegawai
negeri yang menerima suap menurut Pasal 11 didakwa dan dipidana berdasarkan Pasal 12B ayat (1).58Pasal 12 huruf a, b, dan c Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):


Pemahaman Gratifikasi

Gratifikasi

Salah satu catatan tertua mengenai terjadinya praktik pemberian gratifikasi di Indonesia ditemukan dalam catatan seorang Biksu Budha I Tsing (Yi Jing atau Zhang Wen Ming) pada abad ke 7. Pada abad ke-7, pedagang dari Champa (saat ini Vietnam dan sebagian Kamboja) serta China datang dan berusaha membuka upaya perdagangan dengan Kerajaan Sriwijaya. Berdasar¬kan catatan tersebut, pada tahun 671M adalah masa di mana Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan di wilayah Asia Tenggara.
bahwa para pedagang dari Champa dan China pada saat kedatangan di Sumater disambut oleh prajurit Kerajaan Sriwijaya yang menguasai bahasa Melayu Kuno dan Sansekerta sementara para pedagang Champa dan China hanya menguasai bahasa Cina dan Sansekerta berdasar kitab Budha, hal ini mengakibatkan terjadinya permasalahan komuni¬kasi.
Pada saat itu, Kerajaan Sriwijaya telah menggunakan emas dan perak sebagai alat tukar namun belum berbentuk mata uang hanya berbentuk gumpalan ataupun butiran kecil, sebaliknya Champa dan China telah menggunakan emas, perak dan tembaga sebagai alat tukar dalam bentuk koin serta cetakan keong dengan berat tertentu yang dalam bahasa Melayu disebut “tael”. Dalam catatannya, I Tsing menjabarkan secara singkat bahwa para pedagang tersebut memberikan koin-koin perak kepada para prajurit penjaga pada saat akan bertemu dengan pihak Kerabat Kerajaan Sriwijaya yang menangani masalah perdagangan. Adapun pemberian tersebut diduga bertujuan untuk memper¬mudah komunikasi. Pemberian koin perak tersebut kemudian menjadi kebiasaan tersendiri di kalangan pedagang dari Champa dan China pada saat berhubungan dagang dengan Kerajaan Sriwijaya untuk menjalin hubungan baik serta agar dikenal identitasnya oleh pihak Kerajaan Sriwijaya Seiring berjalannya waktu, diduga kebiasaan menerima gratifi¬kasi membuat para pemegang kekuasaan meminta pemberian gratifikasi tanpa menyadari bahwa saat gratifikasi diberikan di bawah permintaan
Catatan-catatan diatas paling tidak memberikan gambaran mengenai adanya kecenderungan transformasi pemberian hadiah yang diterima oleh pejabat publik. Jika dilihat dari ke¬biasaan, tradisi saling memberi-menerima tumbuh subur dalam kebiasaan masyarakat. Hal ini sebenarnya positif sebagai bentuk solidaritas, gotong royong dan sebagainya. Namun jika praktik diadopsi oleh sistem birokrasi, praktik positif tersebut berubah menjadi kendala di dalam upaya membangun tata ke¬lola pemerintahan yang baik. Pemberian yang diberikan kepada pejabat publik cenderung memiliki pamrih dan dalam jangka panjang dapat berpotensi mempengaruhi kinerja pejabat publik,
Istilah gratifikasi  berasal dari bahasa belanda  ( Grat Ikate) yang kemudian diadopsi menjadi kata dalam bahasa Inggris  yang berarti hadiah
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian Gratifikasi atau Gratification adalah sebagai
“a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan gratifikasi
adalah “sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”.
Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk "tanda kasih" tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan. Dengan demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek, namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi. Akan tetapi dalam praktik seseorang memberikan sesuatu tidak mungkin dapat dihindari tanpa adanya pamrih. Di negara-negara maju, gratifikasi kepada kalangan birokrat dilarang keras dan kepada pelaku diberikan sanksi cukup berat, karena akan mempengaruhi pejabat birokrat dalam menjalankan tugas dan pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelayanan publik,
Gratifikasi adalah istilah yang muncul di negar-negara Anglo saxon dan Eropa Kontinental istilah ini muncul karena sulitnnya pembktian mengenai suap (bribery) , sebelumnnya Gratifikasi lebih banyak dikenal sebagai Ghift atau pemberian , gratifikasi dan  Ghif hampir memiliki pengertian yang sama namun  terdapat perbedaan diantara kedua istilah itu.
Kalau Ghif adalah perpindahan sesuatu ( barang atau uang) dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih atau mengharapkan imdbalan.Perkembagnagn dengan pemberian hadiah dikaitkan dengan hubungan dengan atasan dan bawqahan tetapi sebgai tanda kasih  dan apresiasi kepada seseorang yang dianggap berjasa  atau member kesenangan kepada si pemberi hadiah , kemudian istilah ini bekembang menjadi istilah komisi.
Tetapi Gratifikasi adalah upah atau imbalan dari seseorang (pemberi) kepada orang lain (penerima) tanpa diminta atau dijanjikan terlebih dahulu , atas suatu pelayanan dan keuntungan yang didapat oleh pemberi.
Gratifikasi merupakan bentuk khusus dari Ghif. yang membedakan antara Gratifikasi dan pemberian adalah latar belakangnnya, perpindahan sesuatu (barang atau uang) dari pemberi kepada penerima yang terjadi dalam suatu pemberian (gift) t ak dilatarbelakangi dengan hal tertentu, namun perpindahan perpindahan sesuatu (barang atau uang) dari pemberi kepada penerima yang terjadi dalam (Gratifikasi) dilatarbelakangi kepada keuntungan yang didapat dari pemberi walaupun imbalan atau upah tidak diperjanjikan atau dipersayaratkan terlebih dahulu., dalam gratifikasi susatu upah dan imbalan tidak diperjanjikan dan dipersayaratkan terlebih dahulu tetapi kerap kali Gratfikasi sering kerapkali disamakan dengan Suap
Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa:
“Yang dimaksud dengan ”gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik

Pembuktian Tindak Pidana Gratifikasi.    

Dari rumusan pasal 12B ayat (1) UU No. 31/1999 yo UU No. 20/2001, unsur tindak pidana Gratifikasi atau suap ada dua, pertama, pemberian dan penerimaan gratifikasi (serah terima); kedua, berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Pada unsur kedua ini, muncul konstruksi yuridis turunan (unsur derivatif) unsur kedua dua hal, yaitu mengeluarkan putusan dari jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Dan, putusan tersebut menguntungkan pihak pemberi gratifikasi. Ini berarti, dalam unsur kedua, ada putusan jabatan yang putusan tersebut bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya (melawan hukum) dan ada keuntungan dari putusan tersebut pada pemberi gratifikasi.
Unsur pertama dan unsur kedua, diikat oleh rumusan kata”apabila berhubungan dengan”. Ini menunjukan adanya hubungan sebab akibat (qondite sine quanon) antara unsur pertama dengan unsur kedua. Kata “apabila” menunjukan bahwa pembentuk undang-undang mengakui bahwa tidak semua gratifikasi berkaitan dengan jabatan (unsur kedua). Tanpa adanya hubungan sebab akibat dua unsur tindak pidana gratifikasi atau suap tidak bisa menyatu menjadi tindak pidana gratifikasi atau suap.
Pembuktian adanya tindak pidana gratifikasi berarti menunjukan adanya dua unsur tersebut diatas dan menunjukan relasi sebab akibat antara dua unsur tersebut. Secara operasional, yang harus dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum; pertama, adanya serah terima gratifikasi, kedua, adanya putusan yang memberikan keuntungan pada penerima gratifikasi, ketiga, adanya sebab akibat dari dua hal tersebut.
Untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi, perlu dilihat rumusan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:....” Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pi¬hak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan ataupun pekerjaannya.
Salah satu kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat adalah pemberian tanda terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas, baik dalam bentuk barang atau bahkan uang. Hal ini dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat mengarah menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari. Potensi korupsi inilah yang berusaha dicegah oleh peraturan undang-undang. Oleh karena itu, berapapun nilai gratifikasi yang diterima seorang Peny-elenggara Negara atau Pegawai Negeri, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut segera melaporkannya pada KPK untuk dianalisis lebih lanjut
Penangkapan pelaku gratifikasi secara hukum pidana terkait dengan kapan gratifikasi menjadi tindak pidana sehingga aparat hukum atau penyidik bisa melakukan tindakan hukum termasuk penangkapan pada saat menerima gratifikasi atau yang biasa disebut dengan istilah tangkap tangan. Kewenangan aparat melakukan tangkap tangan hanya pada perbuatan hukum yang masuk kualifikasi tindak pidana.
Menurut Undang-Undang yang berlaku, sesungguhnya penerimaan gratifikasi tidak otomatis menjadi perbuatan yang terkualifisir sebagai tindak pidana. Hal ini bisa dilihat dari rumusan pasal 12 C (1) yang berbunyi; ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 12B (1) tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Penerima gratifikasi masih memiliki waktu 30 hari untuk melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Pasal 12C (2)). Pasal 12C ayat 1 dan ayat 2 menghapus ketentuan pemidanaan gratifikasi sebagaimana dalam pasal 12B ayat 1. Ini berarti, penerimaan gratifikasi belum otomatis menjadi tindak pidana karena undang-undang masih memberikan kesempatan untuk melaporkan kepada KPK. Lantas, KPK dalam waktu 30 hari sejak menerima laporan gratifikasi wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik negara. (pasal 12C(1))..
Dalam Gratifikasi mempunyai potensi kepentingan  dalam ranah pejabat public, karena  akan menimbulkan konflik kepentingan  dalam permasalahan pemberia hadiah yang menimbulkan korupsi itu sendiri, karena definisi konflik kepentingan
Definisi konflik kepentingan adalah situasi dimana seseorang Penyelenggara Negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.
Situas itu yang menyebabkan suap dimanan, dengan kata lain gratifikasi yang diterima seseorang penyelenggara negara  taua pemberian/penerimaan hadiah atas suatu keputusan/ jabatan merupakan suatu kejadian yang sering dialami dengan menimbulkan koflik kepentingan didalamnnya.
1.    penerimaan Gratifikasi  dapat membawa kewajiban timbale balik atas sebuah pemberian sehingga independensi penyelenggara negara terganggu.
2.    Penerimaan Gratifikasi akan mengubah obyektifitas penilaian dari profesionalitas Penyelenggara negara
3.    Penerimaan Gratifikasi akan mengaburkan terjadinnya Tindak Pidanan Korupsi.
Persoalan Gratifkasi  akan menjadi tindak pidanan koruspsi karena  karena dengan jabatannya dan kewenangannya menerima fasilitas tertent yang tidak wajar Yang dimaksud penyelenggara negara berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyeleng¬gara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, meliputi:
1.    Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
2.    Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
3.    Menteri
4.     Gubernur
5.     Hakim
6.    Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku a. Duta Besar, b. Wakil Gubenur c. Bupati/Walikota.
7.    Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku:
a.    Komisaris, Direksi, Pejabat Struktural pada BUMN dan BUMD
b.     Pimpinan BI dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional
c.    Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri
d.    Pejabat Eselon Satu dan pejabat lain yang disamakan pada lingkungan sipil, militer, dan kepolisian negara RI
e.    Jaksa
f.    Penyidik
g.    Panitera Pengadilan
h.     Pimpinan dan Bendahara Proyek
Sementara yang dimaksud dengan Pegawai Negeri berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, meliputi:
1.    Pegawai pada: MA, MK
2.    Pegawai pada Kementerian/Departemen & Lembaga Pemerintah Non Departemen
3.    Pegawai pada Kejagung
4.     Pegawai pada Bank Indonesia
5.    Pimpinan dan pegawai pada sekretariat MPR/DPR/DPD/ DPRD Provinsi/Dati II
6.    Pegawai dan perguruan tinggi
7.    Pegawai pada komisi atau badan yang dibentuk berdasar¬kan Undang-Undang, Keppres maupun PP
8.    Pimpinan dan pegawai pada Sekretariat Presiden, Sekre¬tariat Wakil Presiden, Sekretariat Kabinet dan Sekretariat Militer
9.    Pegawai pada BUMN dan BUMD
10.     Pegawai pada Badan Peradilan
11.     Anggota TNI dan POLRI serta Pegawai Sipil di lingkungan TNI dan POLRI
12.    Pimpinan dan pegawai di lingkungan Pemda Dati I dan Dati II
Contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifi¬kasi yang sering terjadi adalah:
1.    Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya
2.     Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari peja¬bat oleh rekanan kantor pejabat tersebut
3.    Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma
4.    Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembe¬lian barang dari rekanan
5.    Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pe¬jabat
6.    Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
7.    Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kun¬jungan kerja
8.    Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih kare¬na telah dibantu
Contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifi¬kasi yang sering terjadi adalah:
1.    Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya
2.    Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari peja¬bat oleh rekanan kantor pejabat tersebut
3.     Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma
4.     Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembe¬lian barang dari rekanan
5.     Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pe¬jabat
6.    Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
7.     Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kun¬jungan kerja
8.     Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih kare¬na telah dibantu

Contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifi¬kasi yang sering terjadi adalah:
1.    Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya
2.    Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari peja¬bat oleh rekanan kantor pejabat tersebut
3.    Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma
4.    Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembe¬lian barang dari rekanan
5.    Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pe¬jabat
6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kun¬jungan kerja
8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih kare¬na telah dibantu

Berdasarkan contoh diatas, maka pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi adalahpemberian atau janji yang mempunyai kaitan dengan hubungan kerja atau kedinasan dan/atausemata-mata karena keterkaitan dengan jabatan atau kedudukan pejabat/pegawai negeri dengan sipemberi.

Peraturan yang mengatur Gratifikasi adalah:
Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi   
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi   
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK
Penjelasan aturan Hukum
Pasal 12 UU No. 20/2001   
Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar:
1.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
2.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Sanksi   
Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001   
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak benar bila Pasal 12B dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah melarang praktik gratifikasi atau pemberian hadiah di Indonesia. Sesungguhnya, praktik gratifikasi atau pemberian hadiah di kalangan masyarakat tidak dilarang tetapi perlu diperhatikan adanya sebuah rambu tambahan yaitu larangan bagi Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara untuk menerima gratifikasi yang dapat dianggap Sanksi pidana yang menerima gratifikasi dapat dijatuhkan bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang :
i.    menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya;
ii.     menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
iii.     menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagaiakibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannyayang bertentangan dengan kewajibannya;
iv.    dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau denganmenyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, ataumenerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
v.     pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawainegeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeriatau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya,padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
vi.    pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang,seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukanmerupakan utang;
vii.     pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yangberhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturanperundangundangan; atau
viii.     baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan,atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskanuntuk mengurus atau mengawasinya.Berdasarkan penjelasan diatas, maka auditor/pemeriksa pada Pelaksana BPK sebagai PegawaiNegeri Sipil, secara tegas dan jelas tidak dibenarkan menerima pemberian dari auditee dalambentuk apapun termasuk tiket perjalanan, fasilitas penginapan, dan fasilitas lainnya karena haltersebut termasuk sebagai pemberian suap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B UU No. 20 Tahun2001. Selain itu, secara internal dengan diundangkannya Peraturan BPK No. 2 Tahun 2007 padatanggal 22 Agustus 2007 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, untukmenjamin integritas dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Anggota BPK dan seluruhauditor/pemeriksa BPK dilarang menerima pemberian dalam bentuk apapun baik langsungmaupun tidak langsung yang diduga atau patut diduga dapat mempengaruhi pelaksanaan tugasdan wewenangnya (Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2) huruf a Peraturan BPK No. 2 Tahun

Minggu, 22 Januari 2012

Permaslahan Penyiaran indonesia

 PERMASALAHAN IJIN PENERBITAN HAK FREKUENSI DAERAH DENGAN PEMERINTAH PUSAT
REGULASI yang mengatur penyiaran di Indonesia telah ada jauh sebelum negara Indonesia hadir sebagai negara yang berdaulat. Ini dapat dilihat dari adanya Radiowet (Undang-Undang tentang Radio) yang diterbitkan Pemerintah Kolonial Belanda pada 1934. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 1970 tentang Radio Siaran Non-Pemerintah. Barulah pada 1997, pemerintah bersama DPR RI menerbitkan sebuah Undang-Undang Penyiaran yang diharapkan dapat mengatur dan mengelola kehidupan penyiaran. Undang-undang ini karena napasnya adalah bahwa penyiaran berada di bawah kendali dan kontrol kekuasaan, maka pemerintah dalam undang-undang ini membentuk sebuah badan pengawas yang dibentuk pemerintah yang bernama Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N). Tugasnya memberi pertimbangan kepada pemerintah, pertimbangan itu oleh pemerintah digunakan sebagai bahan dalam mengambil dan menyusun kebijakan penyiaran nasional.
Kuatnya desakan masyarakat terhadap kebebasan dan inginnya masyarakat melepaskan penyiaran dari kontrol kekuasaan, maka ketika ada kesempatan itu yakni pada saat rezim Orde Baru tumbang bergulirlah wacana pentingnya membuat undang-undang penyiaran yang progresif, reformis, dan berpihak pada kedaulatan publik. Maka, DPR RI kemudian menangkap semangat zaman ini dan membuat Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Harapan dengan adanya UU ini, kehidupan penyiaran menjadi lebih tertata dan tertib.
Keberadaan UU ini mengajak semua stakeholder penyiaran untuk masuk dalam sebuah ruang regulasi yang sama. Undang-undang ini ketika muncul bukan tanpa catatan penolakan. Di tahun 2003, terdapat upaya hukum yang dilakukan kalangan industri penyiaran di antaranya adalah ATVSI, PRSSNI, Persatuan Sulih Suara Indonesia (Persusi), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Komunitas Televisi Indonesia (Komteve). Kalangan industri ini melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi yang dalam salah satu pokok gugatannya mempertanyakan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berpotensi menjelma menjadi kekuatan represif ala Deppen di masa Orde Baru yang akan mengancam kemerdekaan berekspresi insan penyiaran. Namun dari beberapa pokok gugatan yang salah satunya ingin menghilangkan peran KPI tidak dikabulkan oleh MK. MK hanya mengabulkan bahwa kewenangan menyusun peraturan penjelas dari UU Penyiaran tidak dilakukan oleh KPI bersama pemerintah melainkan cukup dilakukan oleh pemerintah dalam kerangka menyusun Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini tertuang dalam Putusan Mahkamah konstitusi dengan putusan perkara nomor 005/PUU-I/2003.
Pascakeputusan MK ini, perdebatan seputar regulasi penyiaran berlanjut dalam hal penyusunan materi peraturan pemerintah (PP). Publik penyiaran yang diwakili oleh kalangan pekerja demokrasi dan civil society yang diwakili antara lain oleh Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) serta kalangan perguruan tinggi khawatir pemberian kewenangan pembuatan peraturan pelaksana dari UU Penyiaran kepada pemerintah akan membuat pemerintah menyelipkan agenda kepentingannya dalam peraturan tersebut. Kekhawatiran ini kemudian menjadi terbukti ketika pada tahun 2005 Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyiaran terbit.
PP-PP itu antara lain, PP No. 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik, PP No. 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik RRI, PP No. 13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik TVRI, PP No. 49 Tahun 2005 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing, PP No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, PP No. 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas, dan PP No. 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Pemerintah dalam PP-PP tersebut menempatkan dirinya sebagai pihak yang dominan dalam dunia penyiaran. Ini tampak dalam penempatan menteri atas nama pemerintah sebagai pihak yang memberi izin penyelenggaraan penyiaran. Padahal, dalam UU Penyiaran termaktub bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan negara melalui KPI Karena Sjachran Basah Perbuatan hukum Negara yang bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana diteapakan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Jadi menururt prosedur yang telah ditetapkan oleh penguasa,.
. Dalam semangat UU ini, sebagaimana dikemukakan oleh perumusnya yakni Paulus, Ketua Pansus Penyusunan UU Penyiaran dari DPR RI pada saat penulis berdiskusi dengannya. Ia menyatakan bahwa makna izin diberikan negara melalui KPI dalam konteks bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan KPI atas nama Negara.
Masih menurut dia, penempatan KPI sebagai pemberi izin dalam pengertian bahwa di negara demokrasi modern pemberian izin penyiaran harus diberikan oleh sebuah badan regulasi yang independen. Hal ini untuk menempatkan penyiaran sebagai ruang publik yang bebas dan otonom. Apalagi, penyiaran Indonesia di masa lalu pernah berada dalam kendali kekuasaan pemerintah. Jadi, bila kemudian pemerintah menafsirkan bahwa kata negara yang dimaksud adalah pemerintah, menurut pandangannya, jelas mengingkari semangat demokratisasi yang ada dalam UU Penyiaran. Maka wajar bila kemudian KPI bersama elemen civil society mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) dan meminta pemerintah membatalkan pemberlakuan PP-PP Penyiaran tersebut.
Pada tahun 2007, MA dalam keputusannya memenangkan pemerintah dan menyatakan bahwa PP-PP penyiaran tersebut berlaku. Pascapemberlakuan PP-PP Penyiaran ini tidak lantas membuat PP-PP Penyiaran ini bisa langsung operasional. Saya ambil contoh, dalam konteks perizinan penyelenggaraan penyiaran, karena PP-PP penyiaran ini mensyaratkan adanya peraturan menteri yang menjelaskan dari apa yang belum jelas di PP-PP penyiaran, membuat pemrosesan izin penyiaran menjadi tertunda. Ini yang membuat para pemohon izin penyelenggaran penyiaran menjadi kecewa karena begitu lamanya menanti kepastian proses perizinan.
Sejak KPI daerah Jawa Barat dibentuk pada 2004, para pemohon izin yang menempuh proses di KPI berjumlah 800-an pemohon dan yang dinyatakan layak oleh KPI berjumlah 350 an. Dalam PP-PP penyiaran, kewenangan KPI disebutkan hanya sebatas pemberi rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran yang akan menjadi dasar bagi menteri dalam menerbitkan izin penyelenggaraan penyiaran. Namun dari jumlah yang 350- an ini hingga saat ini, belum bisa diterbitkan izin penyelenggaraan penyiarannya oleh Menteri Komunikasi dan Informatika karena peraturan menteri yang menjelaskan tentang prosedur perizinan penyelenggaraan penyiaran sebagai dasar menteri memproses izin belum ada. Yang menjadi pertanyaan, hingga kapan persoalan ini selesai? Publik menanti begitu lama demi mendapatkan kepastian itu.
PERTUMBUHAN dunia penyiaran kini begitu pesat. Di Jawa Barat terdapat 700-an stasiun radio yang sudah dan akan segera beroperasi. Sementara itu, juga tercatat puluhan stasiun televisi yang telah dan akan berdiri. Di balik pesatnya perkembangan tersebut, ternyata masalah frekuensi belum juga tuntas penyelesaiannya. Terkejut? Ya, itu adalah ekspresi yang wajar yang ditunjukkan sebagian dari kita apabila menyaksikan perkembangan dunia penyiaran saat ini.Saat ini, banyak pemilik radio yang izin alokasi frekuensinya diterbitkan oleh pemerintah provinsi resah, setelah keluarnya PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. PP No. 38 Tahun 2007 merupakan PP turunan dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Dalam PP tersebut, kewenangan pemerintah provinsi untuk mengalokasikan frekuensi radio dicabut. Kewenangan tersebut ditarik kembali ke pemerintah pusat. Lantas bagaimana nasib para pemilik radio itu ke depan? Sebelumnya, mereka diwajibkan untuk selalu memperpanjang izin alokasi frekuensinya setiap tahun sekali ke pemerintah provinsi. Kecemasan mereka makin menjadi ketika pemerintah pusat hingga saat ini belum jelas sikapnya terhadap nasib mereka. Sulit dibayangkan jika kemudian ratusan radio di Jawa Barat tersebut kemudian menjadi tidak jelas statusnya.
Keadaan seperti ini sebetulnya bukanlah persoalan yang benar-benar baru terjadi di negeri ini. Perebutan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dalam hal pengalokasian frekuensi seolah menjadi rangkaian episode sinetron yang tak kunjung berakhir. Sayangnya dari ketidakjelasan ini, publik menjadi pihak yang dirugikan. Bukan tidak mungkin, ketika pemerintah pusat tidak mengakomodasi izin alokasi frekuensi yang telah diterbitkan pemerintah provinsi tersebut, maka akan terdapat ratusan radio yang harus "off". Berapa "ongkos" yang harus publik tanggung akibat adanya kebijakan tersebut?. Mari kita kalkulasi bersama, di saat radio harus "off" akan terdapat banyak karyawan yang nasibnya menjadi tak pasti, tentu ini berpotensi meningkatkan jumlah pengangguran, belum lagi akan banyak investasi yang telah dikeluarkan menjadi mubazir. Siapkah pemerintah pusat menanggung kerugian itu? Atau, mampukah pemerintah mencarikan titik temu persoalah ini dan memberikan kepastian hukum kepada para penyelenggara penyiaran? Bagaimanapun juga, ini adalah masalah yang harus mendapat perhatian serius dan wajib dicarikan jalan keluarnya. Sudah bukan saatnya lagi mengedepankan arogansi kewenangan tanpa melihat pada akar masalah yang ada.
Akar perebutan kewenangan
Perebutan kewenangan ini bermula ketika ada ketidakpuasan dari pemerintah provinsi atas kebijakan pemerintah pusat dalam melakukan pemetaan alokasi frekuensi yang dinilai mengabaikan kepentingan lokal kedaerahan. Argumentasi yang dibangun pemerintah provinsi didasarkan pada fakta di lapangan di mana masih banyak daerah yang secara demografi dan topografi mestinya memiliki alokasi frekuensi, tetapi tidak diberi alokasi frekuensi oleh pemerintah pusat. Kritik pemerintah provinsi tersebut berdasarkan atas kajian terhadap keputusan menteri perhubungan No. 15 Tahun 2003 tentang Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus untuk Keperluan Radio Siaran FM. Ini yang membuat pemerintah provinsi mengambil keputusan untuk menerbitkan izin alokasi frekuensi bagi kepentingan penyiaran di daerah. Muncullah ratusan radio dalam beberapa tahun terakhir di Jawa Barat.
Dasar yang digunakan oleh pemerintah provinsi adalah PP No. 25 tahun 2000, sebelum kemudian diganti dengan PP No. 38 Tahun 2007. Dalam kasus ini, pemerintah provinsi berpijak pada kepentingan daerah, apalagi dalam kenyataannya sejak tahun 2002, loket perizinan alokasi frekuensi oleh pemerintah pusat ditutup, sedangkan pada masa itu banyak masyarakat yang membutuhkan pelayanan perizinan. Apa yang dilakukan oleh pemerintah provinsi tersebut ditolak pemerintah pusat. Pemerintah pusat menyatakan bahwa merekalah yang punya kewenangan itu. Argumentasi yang dikemukakan pemerintah pusat adalah bahwa mereka yang secara internasional keberadaannya diakui oleh International Communication Union (ITU) yang mempunyai kewenangan untuk mengatur frekuensi secara internasional.
Mestinya, sejak awal persoalan ini tidak perlu terjadi apabila di antara kedua belah pihak mau membangun komunikasi dan kerja sama birokrasi yang baik. Walaupun, misalnya, pemerintah pusat yang punya kewenangan dalam menetapkan master plan alokasi frekuensi secara nasional, dalam penyusunannya dapat dilakukan pembagian kerja karena bagaimanapun pemerintah provinsilah yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang kondisi daerahnya. Dalam pembagian kerja ini, pemerintah pusat bisa meminta pemerintah provinsi mengusulkan alokasi kanal frekuensi untuk daerahnya yang kemudian akan ditetapkan dalam keputusan pemerintah pusat dengan mengacu kepada peraturan internasional. Bila sejak dulu mekanisme ini dijalankan, persoalan ini tidak akan membingungkan dan merugikan masyarakat.
Kesimpulan Hari ini yang harus dilakukan oleh pemerintah, baik pusat ataupun daerah, adalah duduk bersama untuk mencari jalan keluar atas masalah ini. Langkah penyelesaian yang dapat dilakukan adalah; pertama, bagi radio-radio yang izinnya diterbitkan oleh pemerintah provinsi dan kanal frekuensinya sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. 15 Tahun 2003 dapat segera diterbitkan izin stasiun radionya oleh pemerintah pusat, dalam hal ini oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi.
Kedua, bagi radio-radio yang izin alokasi frekuensinya diterbitkan oleh pemerintah provinsi dan kanal frekuensinya tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. 15 Tahun 2003, maka kepada yang bersangkutan dapat dilakukan pengukuran ulang untuk memastikan apakah kanal frekuensi yang digunakan benar-benar clear atau tidak. Apabila ternyata memang clear dan dapat digunakan, Ditjen Postel harus segera menerbitkan alokasi frekuensinya. Namun apabila kanal frekuensi tersebut bermasalah, Ditjen Postel dapat menolak untuk menerbitkan izin alokasi frekuensinya. Atau kepada pemilik radio dapat disarankan untuk pindah lokasi radionya ke tempat lain yang kanal frekuensinya masih ada. Semua keputusan itu harus disampaikan sejelas-jelasnya kepada para pemilik radio, sehingga mereka memahami permasalahan yang sesungguhnya. Sudah saatnya kita menata infrastruktur penyiaran agar menjadi lebih baik. Penataan harus dimulai pertama kali dari penataan masalah frekuensi. Semoga itu semua dapat segera terwujud semoga







Jaminan Sosial Bagi TKI

IMPLEMENTASI FUNGSI PENYELENGGARAAN SISTEM JAMINAN SOSIAL OLEH BADAN NASIONAL PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA

Keberadaan suatu negara dibangun bukan tanpa tujuan yang jelas. Kumpulan rakyat memberikan sebagian haknya kepada entitas bernama negara untuk diatur demi perwujudan tujuan bersama. Dalam Pembukaan UUD 1945 dituangkan tujuan negara Indonesia, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.  Berkenaan dengan salah satu tujuan tersebut, yaitu memajukan kesejahteraan umum, maka negara melalui pemerintah memiliki kewajiban dalam menjamin penyelenggaraan jaminan sosial bagi warga negaranya agar tercapai masyarakat adil dan makmur.
Kemudian didalam Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 disebutkan: “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat” serta diatur juga dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, yakni UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di dalam Pasal 41 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh”.
Ketentuan mengenai jaminan sosial tidak hanya diatur secara nasional saja, hal ini diatur juga didalam Article 22 Universal Declaration of Human Rights 1948 yang menyebutkan “Everyone, as a member of a society, has the right to social security”. Selanjutnya, menururt ILO (International Labour Organization) jaminan sosial adalah jaminan yang dberikan kepada masyarakat melalui lembaga tertentu yang dapat membantu anggota masyarakat dalam menghadapi risiko yang mungkin dialaminya.
Dengan demikian, persoalan jaminan sosial tidak cukup hanya dengan mengaturnya didalam peraturan perundang-undangan, tetapi perlu juga diperhatikan implementasinya dalam realitas, terutama mengenai sistem jaminan sosial bagi para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan TKI di luar negeri telah mampu menggerakkan sektor riil di pedesaan dengan mengirimkan devisa sedikitnya 7,1 miliar dollar AS (sekitar Rp. 71 triliun) pada tahun 2010.  Kemudian berdasarkan catatan BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) terdapat sekitar 575.804 pengguna jasa TKI yang dikirimkan ke berbagai negara, misalnya Arab Saudi, Hongkong, Kuwait, Taiwan, Malaysia, Singapura. 
Pada kenyataannya pemerintah Indonesia belum menyiapkan program perlindungan yang benar-benar memadai. Masih banyak para TKI yang mengalami korban pelanggaran hak asasi manusia, seperti mendapatkan perlakuan yang tidak layak dan tidak manusiawi mulai dari tindak kekerasan, pelecehan seksual hingga ancaman kematian. Selanjutnya, menurut data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) sepanjang 2010 kasus penganiayaan yang menimpa TKI cukup tinggi, yakni sebanyak 3.835 di 18 negara-negara penempatan.  Selain Ruyati yang telah dihukum mati tanpa sepengetahuan pemerintah, sejumlah TKI lain juga tengah menanti hukuman mati serta mendapat perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi. Oleh karena itu, pemerintah harus berperan aktif dalam melindungi keberadaan TKI tersebut di negara-negara penempatan.
Selain itu, persoalan TKI ini berkenaan dengan belum adanya instrumen hukum yang secara rinci mengakomodasi sistem jaminan sosial TKI. Sehingga, diperlukan suatu peraturan yang mengatur ketentuan-ketentuan mengenai sistem jaminan sosial TKI. Peraturan yang akan dibentuk tentang sistem jaminan sosial TKI merujuk kepada peraturan perundang-undangan terkait yang telah ada, seperti diantaranya UU No. 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia, dan Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2006 Tentang Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Didalam UU  No. 13 tahun 2003 telah diatur mengenai jaminan sosial bagi setiap pekerja/buruh dan keluarganya sebagaimana diatur dalam Pasal 99. Undang-undang ini sebagai pedoman bagi peraturan yang akan dibentuk dimana jaminan sosial ini merupakan hak bagi setiap pekerja/buruh, tidak terkecuali dengan TKI. Selanjutnya, UU No. 40 Tahun 2004 telah diatur mengenai jenis-jenis program jaminan sosial, yaitu kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian dalam Pasal 18. Program jaminan sosial ini diberikan kepada peserta yang telah membayar iuran. Peserta dalam hal ini adalah setiap orang termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 bulan di Indonesia yang telah membayar iuran. Akan tetapi, undang-undang ini tidak mengatur program jaminan sosial bagi warga negara Indonesia yang bekerja diluar negeri sebagai TKI. Kemudian, UU No. 39 Tahun 2004 mengatur tentang penempatan dan perlindungan TKI yang dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini adalah Menteri yang bergerak di bidang ketenagakerjaan dan BNP2TKI. Pemerintah bertugas memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan sebagaimana diatur dalam Pasal 7. Sedangkan, BNP2TKI berfungsi untuk memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan pemberangkatan sampai pemulangan sebagaimana diatur dalam Pasal 95. Akan tetapi, undang-undang ini tidak mengatur mengenai sistem jaminan sosial TKI serta badan yang akan bertugas untuk menyelenggarakan sistem jaminan sosial tersebut diatas. Selanjutnya, Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2006 telah mengatur mengenai BNP2TKI yang bertugas untuk melakukan penempatan, memberikan pelayanan, mengkoordinasikan, dan melakukan pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 3. Didalam Perpres ini belum diatur mengenai kewenangan untuk memberikan dan mengkoordinasikan program jaminan sosial bagi TKI.
Berdasarkan penelusuran peraturan perundang-undangan yang terkait, maka diperlukan pembentukan peraturan yang dapat mengatur dan mengakomodasi secara spesifik mengenai sistem jaminan sosial TKI. Didalam peraturan yang akan dibentuk ini diatur mengenai jenis-jenis program jaminan sosial bagi TKI, yaitu kesehatan dan keselamatan kerja. Kedua program jaminan sosial ini penting untuk TKI karena sudah seharusnya para TKI dijamin perlindungannya secara memadai mengingat banyak kasus yang terjadi dimana para TKI diperlakukan tidak manusiawi dan tidak adil. Selain itu, didalam peraturan yang akan dibentuk ini juga diatur mengenai badan yang mengurusi program jaminan sosial. Badan yang dimaksud adalah BNP2TKI sebagaimana telah diatur sebelumnya mengenai badan ini didalam Undang-undang No. 39 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2006. Akan tetapi, didalam peraturan perundang-undangan sebelumnya belum diatur mengenai kewenangan dari badan tersebut diatas berkenaan dengan sistem jaminan sosial. Oleh karena itu, didalam peraturan yang akan dibentuk, badan dalam hal ini BNP2TKI yang akan diberikan kewenangan untuk mengkoordinasikan dan menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi TKI. Kewenangan ini akan dilaksanakan oleh organ baru dari BNP2TKI yang dibentuk melalui peraturan ini, yakni Deputi Bidang Jaminan Sosial. Sistem jaminan sosial tersebut dimaksudkan untuk menjamin dan meningkatkan kesejahteraan para TKI karena TKI yang bekerja diluar negeri adalah aset berharga yang harus dipersiapkan dan dilindungi sebaik mungkin sejak pemberangkatan, selama bekerja dan berada diluar negeri hingga kembali ke negaranya, termasuk didalamnya pengaturan sistem jaminan sosial bagi TKI.