Senin, 23 Januari 2012

Pemahaman Gratifikasi

Gratifikasi

Salah satu catatan tertua mengenai terjadinya praktik pemberian gratifikasi di Indonesia ditemukan dalam catatan seorang Biksu Budha I Tsing (Yi Jing atau Zhang Wen Ming) pada abad ke 7. Pada abad ke-7, pedagang dari Champa (saat ini Vietnam dan sebagian Kamboja) serta China datang dan berusaha membuka upaya perdagangan dengan Kerajaan Sriwijaya. Berdasar¬kan catatan tersebut, pada tahun 671M adalah masa di mana Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan di wilayah Asia Tenggara.
bahwa para pedagang dari Champa dan China pada saat kedatangan di Sumater disambut oleh prajurit Kerajaan Sriwijaya yang menguasai bahasa Melayu Kuno dan Sansekerta sementara para pedagang Champa dan China hanya menguasai bahasa Cina dan Sansekerta berdasar kitab Budha, hal ini mengakibatkan terjadinya permasalahan komuni¬kasi.
Pada saat itu, Kerajaan Sriwijaya telah menggunakan emas dan perak sebagai alat tukar namun belum berbentuk mata uang hanya berbentuk gumpalan ataupun butiran kecil, sebaliknya Champa dan China telah menggunakan emas, perak dan tembaga sebagai alat tukar dalam bentuk koin serta cetakan keong dengan berat tertentu yang dalam bahasa Melayu disebut “tael”. Dalam catatannya, I Tsing menjabarkan secara singkat bahwa para pedagang tersebut memberikan koin-koin perak kepada para prajurit penjaga pada saat akan bertemu dengan pihak Kerabat Kerajaan Sriwijaya yang menangani masalah perdagangan. Adapun pemberian tersebut diduga bertujuan untuk memper¬mudah komunikasi. Pemberian koin perak tersebut kemudian menjadi kebiasaan tersendiri di kalangan pedagang dari Champa dan China pada saat berhubungan dagang dengan Kerajaan Sriwijaya untuk menjalin hubungan baik serta agar dikenal identitasnya oleh pihak Kerajaan Sriwijaya Seiring berjalannya waktu, diduga kebiasaan menerima gratifi¬kasi membuat para pemegang kekuasaan meminta pemberian gratifikasi tanpa menyadari bahwa saat gratifikasi diberikan di bawah permintaan
Catatan-catatan diatas paling tidak memberikan gambaran mengenai adanya kecenderungan transformasi pemberian hadiah yang diterima oleh pejabat publik. Jika dilihat dari ke¬biasaan, tradisi saling memberi-menerima tumbuh subur dalam kebiasaan masyarakat. Hal ini sebenarnya positif sebagai bentuk solidaritas, gotong royong dan sebagainya. Namun jika praktik diadopsi oleh sistem birokrasi, praktik positif tersebut berubah menjadi kendala di dalam upaya membangun tata ke¬lola pemerintahan yang baik. Pemberian yang diberikan kepada pejabat publik cenderung memiliki pamrih dan dalam jangka panjang dapat berpotensi mempengaruhi kinerja pejabat publik,
Istilah gratifikasi  berasal dari bahasa belanda  ( Grat Ikate) yang kemudian diadopsi menjadi kata dalam bahasa Inggris  yang berarti hadiah
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian Gratifikasi atau Gratification adalah sebagai
“a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit” yang dapat diartikan gratifikasi
adalah “sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”.
Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk "tanda kasih" tanpa mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan. Dengan demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek, namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi. Akan tetapi dalam praktik seseorang memberikan sesuatu tidak mungkin dapat dihindari tanpa adanya pamrih. Di negara-negara maju, gratifikasi kepada kalangan birokrat dilarang keras dan kepada pelaku diberikan sanksi cukup berat, karena akan mempengaruhi pejabat birokrat dalam menjalankan tugas dan pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelayanan publik,
Gratifikasi adalah istilah yang muncul di negar-negara Anglo saxon dan Eropa Kontinental istilah ini muncul karena sulitnnya pembktian mengenai suap (bribery) , sebelumnnya Gratifikasi lebih banyak dikenal sebagai Ghift atau pemberian , gratifikasi dan  Ghif hampir memiliki pengertian yang sama namun  terdapat perbedaan diantara kedua istilah itu.
Kalau Ghif adalah perpindahan sesuatu ( barang atau uang) dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih atau mengharapkan imdbalan.Perkembagnagn dengan pemberian hadiah dikaitkan dengan hubungan dengan atasan dan bawqahan tetapi sebgai tanda kasih  dan apresiasi kepada seseorang yang dianggap berjasa  atau member kesenangan kepada si pemberi hadiah , kemudian istilah ini bekembang menjadi istilah komisi.
Tetapi Gratifikasi adalah upah atau imbalan dari seseorang (pemberi) kepada orang lain (penerima) tanpa diminta atau dijanjikan terlebih dahulu , atas suatu pelayanan dan keuntungan yang didapat oleh pemberi.
Gratifikasi merupakan bentuk khusus dari Ghif. yang membedakan antara Gratifikasi dan pemberian adalah latar belakangnnya, perpindahan sesuatu (barang atau uang) dari pemberi kepada penerima yang terjadi dalam suatu pemberian (gift) t ak dilatarbelakangi dengan hal tertentu, namun perpindahan perpindahan sesuatu (barang atau uang) dari pemberi kepada penerima yang terjadi dalam (Gratifikasi) dilatarbelakangi kepada keuntungan yang didapat dari pemberi walaupun imbalan atau upah tidak diperjanjikan atau dipersayaratkan terlebih dahulu., dalam gratifikasi susatu upah dan imbalan tidak diperjanjikan dan dipersayaratkan terlebih dahulu tetapi kerap kali Gratfikasi sering kerapkali disamakan dengan Suap
Pengertian gratifikasi terdapat pada Penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, bahwa:
“Yang dimaksud dengan ”gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik

Pembuktian Tindak Pidana Gratifikasi.    

Dari rumusan pasal 12B ayat (1) UU No. 31/1999 yo UU No. 20/2001, unsur tindak pidana Gratifikasi atau suap ada dua, pertama, pemberian dan penerimaan gratifikasi (serah terima); kedua, berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Pada unsur kedua ini, muncul konstruksi yuridis turunan (unsur derivatif) unsur kedua dua hal, yaitu mengeluarkan putusan dari jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Dan, putusan tersebut menguntungkan pihak pemberi gratifikasi. Ini berarti, dalam unsur kedua, ada putusan jabatan yang putusan tersebut bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya (melawan hukum) dan ada keuntungan dari putusan tersebut pada pemberi gratifikasi.
Unsur pertama dan unsur kedua, diikat oleh rumusan kata”apabila berhubungan dengan”. Ini menunjukan adanya hubungan sebab akibat (qondite sine quanon) antara unsur pertama dengan unsur kedua. Kata “apabila” menunjukan bahwa pembentuk undang-undang mengakui bahwa tidak semua gratifikasi berkaitan dengan jabatan (unsur kedua). Tanpa adanya hubungan sebab akibat dua unsur tindak pidana gratifikasi atau suap tidak bisa menyatu menjadi tindak pidana gratifikasi atau suap.
Pembuktian adanya tindak pidana gratifikasi berarti menunjukan adanya dua unsur tersebut diatas dan menunjukan relasi sebab akibat antara dua unsur tersebut. Secara operasional, yang harus dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum; pertama, adanya serah terima gratifikasi, kedua, adanya putusan yang memberikan keuntungan pada penerima gratifikasi, ketiga, adanya sebab akibat dari dua hal tersebut.
Untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi, perlu dilihat rumusan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:....” Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap khususnya pada seorang Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri adalah pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut melakukan tindakan menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pi¬hak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan ataupun pekerjaannya.
Salah satu kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat adalah pemberian tanda terima kasih atas jasa yang telah diberikan oleh petugas, baik dalam bentuk barang atau bahkan uang. Hal ini dapat menjadi suatu kebiasaan yang bersifat negatif dan dapat mengarah menjadi potensi perbuatan korupsi di kemudian hari. Potensi korupsi inilah yang berusaha dicegah oleh peraturan undang-undang. Oleh karena itu, berapapun nilai gratifikasi yang diterima seorang Peny-elenggara Negara atau Pegawai Negeri, bila pemberian itu patut diduga berkaitan dengan jabatan/kewenangan yang dimiliki, maka sebaiknya Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri tersebut segera melaporkannya pada KPK untuk dianalisis lebih lanjut
Penangkapan pelaku gratifikasi secara hukum pidana terkait dengan kapan gratifikasi menjadi tindak pidana sehingga aparat hukum atau penyidik bisa melakukan tindakan hukum termasuk penangkapan pada saat menerima gratifikasi atau yang biasa disebut dengan istilah tangkap tangan. Kewenangan aparat melakukan tangkap tangan hanya pada perbuatan hukum yang masuk kualifikasi tindak pidana.
Menurut Undang-Undang yang berlaku, sesungguhnya penerimaan gratifikasi tidak otomatis menjadi perbuatan yang terkualifisir sebagai tindak pidana. Hal ini bisa dilihat dari rumusan pasal 12 C (1) yang berbunyi; ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 12B (1) tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Penerima gratifikasi masih memiliki waktu 30 hari untuk melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Pasal 12C (2)). Pasal 12C ayat 1 dan ayat 2 menghapus ketentuan pemidanaan gratifikasi sebagaimana dalam pasal 12B ayat 1. Ini berarti, penerimaan gratifikasi belum otomatis menjadi tindak pidana karena undang-undang masih memberikan kesempatan untuk melaporkan kepada KPK. Lantas, KPK dalam waktu 30 hari sejak menerima laporan gratifikasi wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik negara. (pasal 12C(1))..
Dalam Gratifikasi mempunyai potensi kepentingan  dalam ranah pejabat public, karena  akan menimbulkan konflik kepentingan  dalam permasalahan pemberia hadiah yang menimbulkan korupsi itu sendiri, karena definisi konflik kepentingan
Definisi konflik kepentingan adalah situasi dimana seseorang Penyelenggara Negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya.
Situas itu yang menyebabkan suap dimanan, dengan kata lain gratifikasi yang diterima seseorang penyelenggara negara  taua pemberian/penerimaan hadiah atas suatu keputusan/ jabatan merupakan suatu kejadian yang sering dialami dengan menimbulkan koflik kepentingan didalamnnya.
1.    penerimaan Gratifikasi  dapat membawa kewajiban timbale balik atas sebuah pemberian sehingga independensi penyelenggara negara terganggu.
2.    Penerimaan Gratifikasi akan mengubah obyektifitas penilaian dari profesionalitas Penyelenggara negara
3.    Penerimaan Gratifikasi akan mengaburkan terjadinnya Tindak Pidanan Korupsi.
Persoalan Gratifkasi  akan menjadi tindak pidanan koruspsi karena  karena dengan jabatannya dan kewenangannya menerima fasilitas tertent yang tidak wajar Yang dimaksud penyelenggara negara berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyeleng¬gara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, meliputi:
1.    Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
2.    Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
3.    Menteri
4.     Gubernur
5.     Hakim
6.    Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku a. Duta Besar, b. Wakil Gubenur c. Bupati/Walikota.
7.    Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku:
a.    Komisaris, Direksi, Pejabat Struktural pada BUMN dan BUMD
b.     Pimpinan BI dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional
c.    Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri
d.    Pejabat Eselon Satu dan pejabat lain yang disamakan pada lingkungan sipil, militer, dan kepolisian negara RI
e.    Jaksa
f.    Penyidik
g.    Panitera Pengadilan
h.     Pimpinan dan Bendahara Proyek
Sementara yang dimaksud dengan Pegawai Negeri berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, meliputi:
1.    Pegawai pada: MA, MK
2.    Pegawai pada Kementerian/Departemen & Lembaga Pemerintah Non Departemen
3.    Pegawai pada Kejagung
4.     Pegawai pada Bank Indonesia
5.    Pimpinan dan pegawai pada sekretariat MPR/DPR/DPD/ DPRD Provinsi/Dati II
6.    Pegawai dan perguruan tinggi
7.    Pegawai pada komisi atau badan yang dibentuk berdasar¬kan Undang-Undang, Keppres maupun PP
8.    Pimpinan dan pegawai pada Sekretariat Presiden, Sekre¬tariat Wakil Presiden, Sekretariat Kabinet dan Sekretariat Militer
9.    Pegawai pada BUMN dan BUMD
10.     Pegawai pada Badan Peradilan
11.     Anggota TNI dan POLRI serta Pegawai Sipil di lingkungan TNI dan POLRI
12.    Pimpinan dan pegawai di lingkungan Pemda Dati I dan Dati II
Contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifi¬kasi yang sering terjadi adalah:
1.    Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya
2.     Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari peja¬bat oleh rekanan kantor pejabat tersebut
3.    Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma
4.    Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembe¬lian barang dari rekanan
5.    Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pe¬jabat
6.    Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
7.    Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kun¬jungan kerja
8.    Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih kare¬na telah dibantu
Contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifi¬kasi yang sering terjadi adalah:
1.    Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya
2.    Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari peja¬bat oleh rekanan kantor pejabat tersebut
3.     Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma
4.     Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembe¬lian barang dari rekanan
5.     Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pe¬jabat
6.    Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
7.     Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kun¬jungan kerja
8.     Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih kare¬na telah dibantu

Contoh-contoh pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifi¬kasi yang sering terjadi adalah:
1.    Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat pada saat hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya
2.    Hadiah atau sumbangan pada saat perkawinan anak dari peja¬bat oleh rekanan kantor pejabat tersebut
3.    Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma
4.    Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat untuk pembe¬lian barang dari rekanan
5.    Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pe¬jabat
6. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
7. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat pada saat kun¬jungan kerja
8. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih kare¬na telah dibantu

Berdasarkan contoh diatas, maka pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi adalahpemberian atau janji yang mempunyai kaitan dengan hubungan kerja atau kedinasan dan/atausemata-mata karena keterkaitan dengan jabatan atau kedudukan pejabat/pegawai negeri dengan sipemberi.

Peraturan yang mengatur Gratifikasi adalah:
Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi   
Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi   
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK
Penjelasan aturan Hukum
Pasal 12 UU No. 20/2001   
Didenda dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar:
1.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
2.    pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima bayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
Sanksi   
Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001   
Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak benar bila Pasal 12B dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah melarang praktik gratifikasi atau pemberian hadiah di Indonesia. Sesungguhnya, praktik gratifikasi atau pemberian hadiah di kalangan masyarakat tidak dilarang tetapi perlu diperhatikan adanya sebuah rambu tambahan yaitu larangan bagi Pegawai Negeri/Penyelenggara Negara untuk menerima gratifikasi yang dapat dianggap Sanksi pidana yang menerima gratifikasi dapat dijatuhkan bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang :
i.    menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya;
ii.     menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
iii.     menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagaiakibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannyayang bertentangan dengan kewajibannya;
iv.    dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau denganmenyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, ataumenerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
v.     pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawainegeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeriatau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya,padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
vi.    pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang,seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukanmerupakan utang;
vii.     pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yangberhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturanperundangundangan; atau
viii.     baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan,atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskanuntuk mengurus atau mengawasinya.Berdasarkan penjelasan diatas, maka auditor/pemeriksa pada Pelaksana BPK sebagai PegawaiNegeri Sipil, secara tegas dan jelas tidak dibenarkan menerima pemberian dari auditee dalambentuk apapun termasuk tiket perjalanan, fasilitas penginapan, dan fasilitas lainnya karena haltersebut termasuk sebagai pemberian suap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B UU No. 20 Tahun2001. Selain itu, secara internal dengan diundangkannya Peraturan BPK No. 2 Tahun 2007 padatanggal 22 Agustus 2007 tentang Kode Etik Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, untukmenjamin integritas dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Anggota BPK dan seluruhauditor/pemeriksa BPK dilarang menerima pemberian dalam bentuk apapun baik langsungmaupun tidak langsung yang diduga atau patut diduga dapat mempengaruhi pelaksanaan tugasdan wewenangnya (Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2) huruf a Peraturan BPK No. 2 Tahun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar