Minggu, 22 Januari 2012

Permaslahan Penyiaran indonesia

 PERMASALAHAN IJIN PENERBITAN HAK FREKUENSI DAERAH DENGAN PEMERINTAH PUSAT
REGULASI yang mengatur penyiaran di Indonesia telah ada jauh sebelum negara Indonesia hadir sebagai negara yang berdaulat. Ini dapat dilihat dari adanya Radiowet (Undang-Undang tentang Radio) yang diterbitkan Pemerintah Kolonial Belanda pada 1934. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 1970 tentang Radio Siaran Non-Pemerintah. Barulah pada 1997, pemerintah bersama DPR RI menerbitkan sebuah Undang-Undang Penyiaran yang diharapkan dapat mengatur dan mengelola kehidupan penyiaran. Undang-undang ini karena napasnya adalah bahwa penyiaran berada di bawah kendali dan kontrol kekuasaan, maka pemerintah dalam undang-undang ini membentuk sebuah badan pengawas yang dibentuk pemerintah yang bernama Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N). Tugasnya memberi pertimbangan kepada pemerintah, pertimbangan itu oleh pemerintah digunakan sebagai bahan dalam mengambil dan menyusun kebijakan penyiaran nasional.
Kuatnya desakan masyarakat terhadap kebebasan dan inginnya masyarakat melepaskan penyiaran dari kontrol kekuasaan, maka ketika ada kesempatan itu yakni pada saat rezim Orde Baru tumbang bergulirlah wacana pentingnya membuat undang-undang penyiaran yang progresif, reformis, dan berpihak pada kedaulatan publik. Maka, DPR RI kemudian menangkap semangat zaman ini dan membuat Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Harapan dengan adanya UU ini, kehidupan penyiaran menjadi lebih tertata dan tertib.
Keberadaan UU ini mengajak semua stakeholder penyiaran untuk masuk dalam sebuah ruang regulasi yang sama. Undang-undang ini ketika muncul bukan tanpa catatan penolakan. Di tahun 2003, terdapat upaya hukum yang dilakukan kalangan industri penyiaran di antaranya adalah ATVSI, PRSSNI, Persatuan Sulih Suara Indonesia (Persusi), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Komunitas Televisi Indonesia (Komteve). Kalangan industri ini melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi yang dalam salah satu pokok gugatannya mempertanyakan keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berpotensi menjelma menjadi kekuatan represif ala Deppen di masa Orde Baru yang akan mengancam kemerdekaan berekspresi insan penyiaran. Namun dari beberapa pokok gugatan yang salah satunya ingin menghilangkan peran KPI tidak dikabulkan oleh MK. MK hanya mengabulkan bahwa kewenangan menyusun peraturan penjelas dari UU Penyiaran tidak dilakukan oleh KPI bersama pemerintah melainkan cukup dilakukan oleh pemerintah dalam kerangka menyusun Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini tertuang dalam Putusan Mahkamah konstitusi dengan putusan perkara nomor 005/PUU-I/2003.
Pascakeputusan MK ini, perdebatan seputar regulasi penyiaran berlanjut dalam hal penyusunan materi peraturan pemerintah (PP). Publik penyiaran yang diwakili oleh kalangan pekerja demokrasi dan civil society yang diwakili antara lain oleh Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) serta kalangan perguruan tinggi khawatir pemberian kewenangan pembuatan peraturan pelaksana dari UU Penyiaran kepada pemerintah akan membuat pemerintah menyelipkan agenda kepentingannya dalam peraturan tersebut. Kekhawatiran ini kemudian menjadi terbukti ketika pada tahun 2005 Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penyiaran terbit.
PP-PP itu antara lain, PP No. 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik, PP No. 12 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik RRI, PP No. 13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik TVRI, PP No. 49 Tahun 2005 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing, PP No. 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta, PP No. 51 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas, dan PP No. 52 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Berlangganan.
Pemerintah dalam PP-PP tersebut menempatkan dirinya sebagai pihak yang dominan dalam dunia penyiaran. Ini tampak dalam penempatan menteri atas nama pemerintah sebagai pihak yang memberi izin penyelenggaraan penyiaran. Padahal, dalam UU Penyiaran termaktub bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan negara melalui KPI Karena Sjachran Basah Perbuatan hukum Negara yang bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana diteapakan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Jadi menururt prosedur yang telah ditetapkan oleh penguasa,.
. Dalam semangat UU ini, sebagaimana dikemukakan oleh perumusnya yakni Paulus, Ketua Pansus Penyusunan UU Penyiaran dari DPR RI pada saat penulis berdiskusi dengannya. Ia menyatakan bahwa makna izin diberikan negara melalui KPI dalam konteks bahwa izin penyelenggaraan penyiaran diberikan KPI atas nama Negara.
Masih menurut dia, penempatan KPI sebagai pemberi izin dalam pengertian bahwa di negara demokrasi modern pemberian izin penyiaran harus diberikan oleh sebuah badan regulasi yang independen. Hal ini untuk menempatkan penyiaran sebagai ruang publik yang bebas dan otonom. Apalagi, penyiaran Indonesia di masa lalu pernah berada dalam kendali kekuasaan pemerintah. Jadi, bila kemudian pemerintah menafsirkan bahwa kata negara yang dimaksud adalah pemerintah, menurut pandangannya, jelas mengingkari semangat demokratisasi yang ada dalam UU Penyiaran. Maka wajar bila kemudian KPI bersama elemen civil society mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA) dan meminta pemerintah membatalkan pemberlakuan PP-PP Penyiaran tersebut.
Pada tahun 2007, MA dalam keputusannya memenangkan pemerintah dan menyatakan bahwa PP-PP penyiaran tersebut berlaku. Pascapemberlakuan PP-PP Penyiaran ini tidak lantas membuat PP-PP Penyiaran ini bisa langsung operasional. Saya ambil contoh, dalam konteks perizinan penyelenggaraan penyiaran, karena PP-PP penyiaran ini mensyaratkan adanya peraturan menteri yang menjelaskan dari apa yang belum jelas di PP-PP penyiaran, membuat pemrosesan izin penyiaran menjadi tertunda. Ini yang membuat para pemohon izin penyelenggaran penyiaran menjadi kecewa karena begitu lamanya menanti kepastian proses perizinan.
Sejak KPI daerah Jawa Barat dibentuk pada 2004, para pemohon izin yang menempuh proses di KPI berjumlah 800-an pemohon dan yang dinyatakan layak oleh KPI berjumlah 350 an. Dalam PP-PP penyiaran, kewenangan KPI disebutkan hanya sebatas pemberi rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran yang akan menjadi dasar bagi menteri dalam menerbitkan izin penyelenggaraan penyiaran. Namun dari jumlah yang 350- an ini hingga saat ini, belum bisa diterbitkan izin penyelenggaraan penyiarannya oleh Menteri Komunikasi dan Informatika karena peraturan menteri yang menjelaskan tentang prosedur perizinan penyelenggaraan penyiaran sebagai dasar menteri memproses izin belum ada. Yang menjadi pertanyaan, hingga kapan persoalan ini selesai? Publik menanti begitu lama demi mendapatkan kepastian itu.
PERTUMBUHAN dunia penyiaran kini begitu pesat. Di Jawa Barat terdapat 700-an stasiun radio yang sudah dan akan segera beroperasi. Sementara itu, juga tercatat puluhan stasiun televisi yang telah dan akan berdiri. Di balik pesatnya perkembangan tersebut, ternyata masalah frekuensi belum juga tuntas penyelesaiannya. Terkejut? Ya, itu adalah ekspresi yang wajar yang ditunjukkan sebagian dari kita apabila menyaksikan perkembangan dunia penyiaran saat ini.Saat ini, banyak pemilik radio yang izin alokasi frekuensinya diterbitkan oleh pemerintah provinsi resah, setelah keluarnya PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. PP No. 38 Tahun 2007 merupakan PP turunan dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Dalam PP tersebut, kewenangan pemerintah provinsi untuk mengalokasikan frekuensi radio dicabut. Kewenangan tersebut ditarik kembali ke pemerintah pusat. Lantas bagaimana nasib para pemilik radio itu ke depan? Sebelumnya, mereka diwajibkan untuk selalu memperpanjang izin alokasi frekuensinya setiap tahun sekali ke pemerintah provinsi. Kecemasan mereka makin menjadi ketika pemerintah pusat hingga saat ini belum jelas sikapnya terhadap nasib mereka. Sulit dibayangkan jika kemudian ratusan radio di Jawa Barat tersebut kemudian menjadi tidak jelas statusnya.
Keadaan seperti ini sebetulnya bukanlah persoalan yang benar-benar baru terjadi di negeri ini. Perebutan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi dalam hal pengalokasian frekuensi seolah menjadi rangkaian episode sinetron yang tak kunjung berakhir. Sayangnya dari ketidakjelasan ini, publik menjadi pihak yang dirugikan. Bukan tidak mungkin, ketika pemerintah pusat tidak mengakomodasi izin alokasi frekuensi yang telah diterbitkan pemerintah provinsi tersebut, maka akan terdapat ratusan radio yang harus "off". Berapa "ongkos" yang harus publik tanggung akibat adanya kebijakan tersebut?. Mari kita kalkulasi bersama, di saat radio harus "off" akan terdapat banyak karyawan yang nasibnya menjadi tak pasti, tentu ini berpotensi meningkatkan jumlah pengangguran, belum lagi akan banyak investasi yang telah dikeluarkan menjadi mubazir. Siapkah pemerintah pusat menanggung kerugian itu? Atau, mampukah pemerintah mencarikan titik temu persoalah ini dan memberikan kepastian hukum kepada para penyelenggara penyiaran? Bagaimanapun juga, ini adalah masalah yang harus mendapat perhatian serius dan wajib dicarikan jalan keluarnya. Sudah bukan saatnya lagi mengedepankan arogansi kewenangan tanpa melihat pada akar masalah yang ada.
Akar perebutan kewenangan
Perebutan kewenangan ini bermula ketika ada ketidakpuasan dari pemerintah provinsi atas kebijakan pemerintah pusat dalam melakukan pemetaan alokasi frekuensi yang dinilai mengabaikan kepentingan lokal kedaerahan. Argumentasi yang dibangun pemerintah provinsi didasarkan pada fakta di lapangan di mana masih banyak daerah yang secara demografi dan topografi mestinya memiliki alokasi frekuensi, tetapi tidak diberi alokasi frekuensi oleh pemerintah pusat. Kritik pemerintah provinsi tersebut berdasarkan atas kajian terhadap keputusan menteri perhubungan No. 15 Tahun 2003 tentang Rencana Induk (Master Plan) Frekuensi Radio Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus untuk Keperluan Radio Siaran FM. Ini yang membuat pemerintah provinsi mengambil keputusan untuk menerbitkan izin alokasi frekuensi bagi kepentingan penyiaran di daerah. Muncullah ratusan radio dalam beberapa tahun terakhir di Jawa Barat.
Dasar yang digunakan oleh pemerintah provinsi adalah PP No. 25 tahun 2000, sebelum kemudian diganti dengan PP No. 38 Tahun 2007. Dalam kasus ini, pemerintah provinsi berpijak pada kepentingan daerah, apalagi dalam kenyataannya sejak tahun 2002, loket perizinan alokasi frekuensi oleh pemerintah pusat ditutup, sedangkan pada masa itu banyak masyarakat yang membutuhkan pelayanan perizinan. Apa yang dilakukan oleh pemerintah provinsi tersebut ditolak pemerintah pusat. Pemerintah pusat menyatakan bahwa merekalah yang punya kewenangan itu. Argumentasi yang dikemukakan pemerintah pusat adalah bahwa mereka yang secara internasional keberadaannya diakui oleh International Communication Union (ITU) yang mempunyai kewenangan untuk mengatur frekuensi secara internasional.
Mestinya, sejak awal persoalan ini tidak perlu terjadi apabila di antara kedua belah pihak mau membangun komunikasi dan kerja sama birokrasi yang baik. Walaupun, misalnya, pemerintah pusat yang punya kewenangan dalam menetapkan master plan alokasi frekuensi secara nasional, dalam penyusunannya dapat dilakukan pembagian kerja karena bagaimanapun pemerintah provinsilah yang memiliki pengetahuan yang cukup tentang kondisi daerahnya. Dalam pembagian kerja ini, pemerintah pusat bisa meminta pemerintah provinsi mengusulkan alokasi kanal frekuensi untuk daerahnya yang kemudian akan ditetapkan dalam keputusan pemerintah pusat dengan mengacu kepada peraturan internasional. Bila sejak dulu mekanisme ini dijalankan, persoalan ini tidak akan membingungkan dan merugikan masyarakat.
Kesimpulan Hari ini yang harus dilakukan oleh pemerintah, baik pusat ataupun daerah, adalah duduk bersama untuk mencari jalan keluar atas masalah ini. Langkah penyelesaian yang dapat dilakukan adalah; pertama, bagi radio-radio yang izinnya diterbitkan oleh pemerintah provinsi dan kanal frekuensinya sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. 15 Tahun 2003 dapat segera diterbitkan izin stasiun radionya oleh pemerintah pusat, dalam hal ini oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi.
Kedua, bagi radio-radio yang izin alokasi frekuensinya diterbitkan oleh pemerintah provinsi dan kanal frekuensinya tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Perhubungan No. 15 Tahun 2003, maka kepada yang bersangkutan dapat dilakukan pengukuran ulang untuk memastikan apakah kanal frekuensi yang digunakan benar-benar clear atau tidak. Apabila ternyata memang clear dan dapat digunakan, Ditjen Postel harus segera menerbitkan alokasi frekuensinya. Namun apabila kanal frekuensi tersebut bermasalah, Ditjen Postel dapat menolak untuk menerbitkan izin alokasi frekuensinya. Atau kepada pemilik radio dapat disarankan untuk pindah lokasi radionya ke tempat lain yang kanal frekuensinya masih ada. Semua keputusan itu harus disampaikan sejelas-jelasnya kepada para pemilik radio, sehingga mereka memahami permasalahan yang sesungguhnya. Sudah saatnya kita menata infrastruktur penyiaran agar menjadi lebih baik. Penataan harus dimulai pertama kali dari penataan masalah frekuensi. Semoga itu semua dapat segera terwujud semoga







Tidak ada komentar:

Posting Komentar