Kamis, 26 Januari 2012

Permen Digitalisasi Penyiaran untuk Semarakkan Industri TV

  Permen Digitalisasi Penyiaran untuk Semarakkan Industri TV

Sejumlah anggota Komisi I DPR mempertanyakan langkah Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Tifatul Sembiring menerbitkan Peraturan Menteri No 22 Tahun 2011. Permen yang mengatur migrasi penyiaran dari sistem analog ke sistem digital ini dinilai melampaui UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Desakan agar Permenkominfo ini dicabut pun sempat muncul dari Senayan.
 
“Ini seharusnya dimasukkan ke dalam revisi UU Penyiaran. Frekuensi ini adalah aset negara, tak bisa begitu saja dibagi-bagi. Ini tak bisa hanya diatur dengan Permen,” ujar Anggota Komisi I Evita Nursanty dalam rapat kerja dengan Menkominfo, Rabu (25/1).   
 
Evita khawatir bila aturan ini ada muatan politik untuk Pemilu 2014. Apalagi, televisi dianggap alat yang ampuh untuk berkampanye. “Golkar sudah punya (stasiun TV), Nasdem juga sudah punya. Kalau izin frekuensi hanya diberikan TV-TV swasta yang sudah ada itu, bagaimana dengan kami yang belum memiliki stasiun televisi,” ujar politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini.
 
Tifatul menjelaskan bahwa adanya aturan yang memigrasikan penyiaran televisi dengan sistem analog ke sistem digital ini justru untuk menyemarakkan industri pertelevisian yang ada saat ini. “Justru dengan sistem digital ini terbuka peluang Ibu Evi untuk membuka stasiun televisi sendiri. Terbuka juga peluang diversity of ownership (keberagaman kepemilikan),” jelasnya.
 
Sebagai contoh, lanjutnya, saat ini sudah tak terbuka lagi peluang orang yang ingin memiliki stasiun televisi secara nasional karena frekuensi sudah penuh bila masih menggunakan sistem analog. “Sistem digital ini membuka peluang orang yang ingin terjun ke industri penyiaran yang selama ini tak bisa dilakukan karena frekuensi sudah penuh,” ujarnya. 
 
Tifatul menuturkan bahwa di Jakarta bila mengacu sistem analog, maka hanya ada 14 frekuensi untuk televisi. Namun, dengan sistem digital kelak, maka frekuensi akan membengkak menjadi 72 frekuensi. “Ini juga terbuka untuk radio. Perbandingannya satu frekuensi dengan sistem analog maka bisa menjadi 48 frekuensi baru bila menggunakan sistem digital,” jelasnya.
 
“Ini tujuannya justru untuk membuka, bukan justru membatasi. Polisi saja susah kami kasih frekuensi karena memang sudah penuh,” ungkapnya.
 
Selama ini memang sudah ada beberapa grup yang menguasai industri pertelevisian Indonesia. Yakni, grup bakrie dengan stasiun televisi TV One, ANTV, dan Jak Tv. Ada lagi grup lain yang memiliki SCTV, O Channel, dan Indosiar. Sedangkan, MNC memiliki Global TV, RCTI, dan MNC TV. Terakhir yakni grup Trans yang menaungi Trans TV dan Trans 7.
 
Tifatul juga menolak bila Permen ini dikatakan mengobral kepemilikan frekuensi. Ia menjelaskan Permen ini baru sebatas aturan untuk mengkavling frekuensi-frekuensi itu berdasarkan sistem digital. Jadi, belum dimulai ‘penjualan’ kepada pihak swasta. “Kami tetap berpedoman kepada UU Penyiaran. Ini implementasi dari undang-undang itu,” ujarnya.
 
“Kami menilai persoalan ini memang perlu diatur ke dalam Permen karena bersifat sangat teknis,” ujarnya.
 
Anggota Komisi I dari Partai Golkar Jeffrie Geovanie meminta kepada rekan-rekannya agar tak lebih dulu berburuk sangka mengenai proyek ini. Ia menuturkan setelah menyimak penjelasan menteri, setuju dengan langkah ini. Dengan dibukanya kran frekuensi yang lebih banyak dari sebelumnya akan membuat semarak industri pertelevisian.
 
“Logika sederhananya kan semakin banyak frekuensi kan lebih baik. Kalau ‘barang’-nya sedikit seperti sekarang kan agak susah untuk orang lain berkiprah di industri ini,” ujarnya.
 
Jeffrie juga menuturkan bila Permen ini memprioritaskan kepada stasiun televisi yang ada untuk mendapat izin itu pun hal yang wajar. “Mereka punya hak juga. Mereka kan rakyat kita juga. Lagipula, mereka juga tak akan bisa menguasai semua frekuensi yang ada dengan sistem digital ini,” pungkasnya.

Sumber : http://hukumonline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar