Permen Digitalisasi Penyiaran untuk Semarakkan Industri TV
Sejumlah
anggota Komisi I DPR mempertanyakan langkah Menteri Komunikasi dan
Informasi (Menkominfo) Tifatul Sembiring menerbitkan Peraturan Menteri
No 22 Tahun 2011. Permen yang mengatur migrasi penyiaran dari sistem
analog ke sistem digital ini dinilai melampaui UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Desakan agar Permenkominfo ini dicabut pun sempat muncul dari Senayan.
“Ini
seharusnya dimasukkan ke dalam revisi UU Penyiaran. Frekuensi ini
adalah aset negara, tak bisa begitu saja dibagi-bagi. Ini tak bisa hanya
diatur dengan Permen,” ujar Anggota Komisi I Evita Nursanty dalam rapat
kerja dengan Menkominfo, Rabu (25/1).
Evita
khawatir bila aturan ini ada muatan politik untuk Pemilu 2014. Apalagi,
televisi dianggap alat yang ampuh untuk berkampanye. “Golkar sudah
punya (stasiun TV), Nasdem juga sudah punya. Kalau izin frekuensi hanya
diberikan TV-TV swasta yang sudah ada itu, bagaimana dengan kami yang
belum memiliki stasiun televisi,” ujar politisi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) ini.
Tifatul
menjelaskan bahwa adanya aturan yang memigrasikan penyiaran televisi
dengan sistem analog ke sistem digital ini justru untuk menyemarakkan
industri pertelevisian yang ada saat ini. “Justru dengan sistem digital
ini terbuka peluang Ibu Evi untuk membuka stasiun televisi sendiri.
Terbuka juga peluang diversity of ownership (keberagaman kepemilikan),”
jelasnya.
Sebagai
contoh, lanjutnya, saat ini sudah tak terbuka lagi peluang orang yang
ingin memiliki stasiun televisi secara nasional karena frekuensi sudah
penuh bila masih menggunakan sistem analog. “Sistem digital ini membuka
peluang orang yang ingin terjun ke industri penyiaran yang selama ini
tak bisa dilakukan karena frekuensi sudah penuh,” ujarnya.
Tifatul
menuturkan bahwa di Jakarta bila mengacu sistem analog, maka hanya ada
14 frekuensi untuk televisi. Namun, dengan sistem digital kelak, maka
frekuensi akan membengkak menjadi 72 frekuensi. “Ini juga terbuka untuk
radio. Perbandingannya satu frekuensi dengan sistem analog maka bisa
menjadi 48 frekuensi baru bila menggunakan sistem digital,” jelasnya.
“Ini
tujuannya justru untuk membuka, bukan justru membatasi. Polisi saja
susah kami kasih frekuensi karena memang sudah penuh,” ungkapnya.
Selama
ini memang sudah ada beberapa grup yang menguasai industri
pertelevisian Indonesia. Yakni, grup bakrie dengan stasiun televisi TV
One, ANTV, dan Jak Tv. Ada lagi grup lain yang memiliki SCTV, O Channel,
dan Indosiar. Sedangkan, MNC memiliki Global TV, RCTI, dan MNC TV.
Terakhir yakni grup Trans yang menaungi Trans TV dan Trans 7.
Tifatul
juga menolak bila Permen ini dikatakan mengobral kepemilikan frekuensi.
Ia menjelaskan Permen ini baru sebatas aturan untuk mengkavling
frekuensi-frekuensi itu berdasarkan sistem digital. Jadi, belum dimulai
‘penjualan’ kepada pihak swasta. “Kami tetap berpedoman kepada UU
Penyiaran. Ini implementasi dari undang-undang itu,” ujarnya.
“Kami menilai persoalan ini memang perlu diatur ke dalam Permen karena bersifat sangat teknis,” ujarnya.
Anggota
Komisi I dari Partai Golkar Jeffrie Geovanie meminta kepada
rekan-rekannya agar tak lebih dulu berburuk sangka mengenai proyek ini.
Ia menuturkan setelah menyimak penjelasan menteri, setuju dengan langkah
ini. Dengan dibukanya kran frekuensi yang lebih banyak dari sebelumnya
akan membuat semarak industri pertelevisian.
“Logika
sederhananya kan semakin banyak frekuensi kan lebih baik. Kalau
‘barang’-nya sedikit seperti sekarang kan agak susah untuk orang lain
berkiprah di industri ini,” ujarnya.
Jeffrie
juga menuturkan bila Permen ini memprioritaskan kepada stasiun televisi
yang ada untuk mendapat izin itu pun hal yang wajar. “Mereka punya hak
juga. Mereka kan rakyat kita juga. Lagipula, mereka juga tak akan bisa
menguasai semua frekuensi yang ada dengan sistem digital ini,”
pungkasnya.
Sumber : http://hukumonline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar