Makna Sikap Diam di Mata Hukum
Diam
adalah emas! Begitu kata pribahasa yang sering dikutip. Tetapi sikap
diam tak selalu mendatangkan ‘emas’ bagi pejabat publik. Sebaliknya,
bisa menjerumuskan seorang pejabat publik ke jurang hukum dengan tuduhan
penyalahgunaan wewenang. Muncul sebuah pertanyaan dasar: apa sebenarnya
makna sikap diam di mata hukum.
Pertanyaan
itulah yang muncul dalam sidang perkara korupsi terdakwa Syarifuddin di
Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (24/1). Di ruang sidang, muncul
diskusi menarik tentang kekuasaan dan kewenangan, hubungannya dengan
sikap diam seorang pejabat publik. Dalam konteks kasus ini, sikap diam
Syarifuddin terhadap penjualan boedel pailit dengan status non-boedel
yang dilakukan oleh kurator.
Adalah
Prof. Philipus M. Hadjon yang memantik diskusi itu. Guru Besar Hukum
Administrasi Universitas Airlangga Surabaya ini menyebutkan tidak ada
kewajiban tanpa kewenangan. Seorang pejabat tata usaha negara (TUN) yang
berwenang menerima suatu permohonan, menjadi kewajibannya untuk
menerbitkan keputusan atas permohonan itu. Kalau pejabat TUN tadi tidak
melaksanakan kewajibannya, muncul persoalan kewenangan. Katakanlah si
pejabat diam alias tak bersikap atas permohonan, maka timbul persoalan.
Dalam
hukum administrasi, khususnya peradilan tata usaha negara, sikap diam
pejabat, bermakna menolak (permohonan). Kalau sudah lewat waktu si
pejabat tidak mengeluarkan keputusan dan hanya bersikap diam, berarti si
pejabat menolak. “Di bidang TUN, diam artinya menolak,” jelas Prof.
Hadjon.
Makna
‘menolak’ itulah yang kemudian dikenal sebagai Keputusan TUN
fiktif-negatif. Sikap diam seorang pejabat TUN hingga lewat waktu
dianggap sebagai keputusan resmi menolak permohonan yang diajukan. Dan
sikap demikian, seperti disinggung dalam pasal 3 Undang-Undang No. 5
Tahun 1986, bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Prof.
Hadjon berkeinginan agar prinsip hukum administrasi itu bisa diterapkan
di bidang lain. Dengan kata lain, sikap diam dimaknai menolak perlu
dijadikan asas yang berlaku nasional.
Benarkah
sikap diam selalu dimaknai menolak? Tunggu dulu. Ketua majelis hakim
yang menangani perkara Syarifuddin, Gusrizal, punya contoh sebaliknya.
Dalam proses legislasi, sikap diam bisa dianggap menyetujui. Tengok saja
pasal 73 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Menurut Wet ini, dalam hal
presiden tidak menandatangani RUU dalam waktu 30 hari sejak persetujuan
bersama, maka RUU itu sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.
Di sini, sikap diam presiden bukan saja dimaknai setuju, tetapi juga
menimbulkan kewajiban kepada pihak ketiga.
Sikap
diam juga tak dapat dibenarkan berkaitan dengan pengaduan atas
pelayanan publik atau permohonan informasi. Rezim Undang-Undang No. 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, atau Undang-Undang No. 14 Tahun
2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, mengharuskan pejabat publik
bersikap atas pengaduan atau permohonan. Sikap diam pejabat malah bisa
menimbulkan konsekuensi yuridis, seperti sanksi administrasi atau sanksi
pidana denda.
Prof.
Hadjon tak menampik pendapat Gusrizal. Guru Besar Unair Surabaya itu
malah memberi contoh lain, sikap diam dimaknai setuju. Dalam pemberian
izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), pejabat dianggap
setuju jika dia mendiamkan permohonan izin begitu saja.
Cuma,
Prof. Hadjon mengingatkan, memaknai sikap diam sebagai tanda setuju
bisa membuka peluang kolusi. “Kalau diam dianggap setuju, itu berpeluang
terjadinya kolusi”. Misalkan seorang pejabat menerima permohonan dari
orang yang dia kenal. Si pejabat tahu ada cacat dalam permohonan. Ia
tidak sampai hati menolak meski ada cacat atau kekurangan persyaratan.
Sebaliknya, ia tidak berani menyetujui permohonan lantaran khawatir bisa
menjadi persoalan hukum kelak. Karena itu si pejabat hanya diam. Jika
sikap diam tadi dimaknai setuju, berarti terbuka peluang untuk kolusi.
Penegasan
Prof. Hadjon memang hanya dalam konteks hukum administrasi. Ia mengakui
asas diam berarti menolak yang dikenal dalam hukum administrasi belum
tentu bisa diterapkan dalam bidang lain. Menurut Gusrizal, pemaknaan
sikap diam penting demi kepastian hukum.
Katakanlah
dalam tindak pidana korupsi. Seorang pejabat yang menerima gratifikasi
tak bisa mendiamkan uang atau barang yang dia terima. Pejabat negara
wajib melaporkan gratifikasi itu paling lambat 30 hari sejak uang/barang
diterima. Jika sudah lewat waktu 30 hari si pejabat tetap diam, tak
mungkin bisa dimaknai si pejabat menolak gratifikasi. Yang terjadi
justru sebaliknya, ia dianggap setuju dan menerima pemberian tersebut.
Prof.
Hadjon mengaku punya obsesi agar asas ‘diam berarti menolak’ diterapkan
bukan hanya di lingkup administrasi negara. Namun dalam praktik, obsesi
itu tampaknya masih sulit karena rezim hukum lain yang mengatur.
“Itulah repotnya, kita tidak punya pola yang sama secara nasional. Maka
harus dilihat kasuistis,” pungkas pakar hukum administrasi negara
kelahiran 1945 itu.
http://hukumonline.com/berita/baca/lt4f1ff9d322ae4/makna-sikap-diam-di-mata-hukum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar